JAKARTA, Berita HUKUM - Kuasa Hukum PT Mulia Persada Pasific (PT MPP), Fredrich Yunadi mengatakan bahwa penegakan hukum di negara kita ini makin terpuruk, bahkan untuk kasus Bank Rakyat Indonesia (BRI) menurut Fredrich, BRI sudah seperti perampok.
"Penegakan Hukum di Negara kita makin terpuruk, BRI bertindak seolah-olah selaku eksekutor, BRI seperti perampok," ucap Fredrich dengan intonasi geram saat Jumpa Pers, Kamis (31/10) di Gedung Yunadi Center, jalan Melawai Raya No.8, Blok M, Jakarta Selatan.
Adapun Putusan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan PT BRI (persero) Tbk, Fredrich dan pihaknya akan usut kejanggalan yang dilakukan Hakim PK terkait Putusan 247/PK/PDT/2013 secara de facto dan de jure bertentangan dengan pasal 11 UU No. 19 tahun 2003.
"Kami sedang mengajukan pengaduan perihal tersebut ke Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Kita ini negara hukum, tidak sekonyong-konyong bertindak semaunya, ada prosedurnya ada tahapan-tahapannya, BRI bertindak sudah seperti debt colletor," ujar Fredrich yang didampingi Firman Wijaya, Yasin Mansyur, Tina, Andika dan sejumlah pengacara lainnya.
Terkait dari pandangan, pengakuan, ataupun situasi hukum, secara defacto dan dejure PT MPP ini yang mempunyai hak sepenuhnya, dan tidak ada hubungan dengan BRI, PT MPP hanya ada hubungan dengan Yayasan Dana Pensiun. Parahnya menurut Fredrich, jaksa pun sudah bertindak keliru.
"Jaksa bukan debt colletor, jaksa itu pengacara negara, tidak boleh mewakili BUMN, ini sudah sesuai surat edaran MA," terang Fredrich.
PUTUSAN TERCEPAT, BISA MASUK MURI
Mengenai Putusan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan PT BRI (persero) Tbk, dinilai oleh pihak Yunadi and Associates adalah Putusan yang paling cepat sepanjang sejarah dunia hukum positif di Indonesia.
"Putusan ini cepat sekali, mungkin pakai pesawat jet yang paling canggih. Ini tujuannya hanya untuk merampok. Masa berakhirnya BOT kan nanti tahun 2022. Dalam kasus ini PK dikirim 1 Mei 2013 diputus 24 Juni 2013 ini luar biasa cepatnya, ini bisa masuk MURI (Museum Rekor Indonesia)," pungkasnya.
Sementara itu Firman Wijaya mengatakan bahwa MA ini sudah melanggar SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) dan jaksa secara tegas telah ada peraturannya tidak boleh mewakili Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"MA melanggar hukumnya sendiri, dalam SEMA, MA pun melawan putusan Mahkamah Konstitusi, SEMA ini kan dibuat dengan kesadaran. Ini bisa saja delik pidananya muncul. Jaksa kapasitas hanya mewakili pemerintah tidak boleh lebih dari itu," kata Firman.
Seperti diketahui Hakim dalam perkara ini, yakni Hakim Agung PK diantaranya I Made, Sulthoni, dan Jaksa yaitu Yesti Mariani Gultom, Andri Prihandono SH MH. Dan mengenai laporan Yunadi and Associates ke Polisi pasal yang dikenakan yaitu pasal 310, 311, 335, 378.
Kemudian terkait pemberitaan salah satu surat kabar nasional bahwa PT MPP adalah milik Djoko Chandra, Fredrich membantah. Djoko Chandra sendiri masih menjadi buronan yang belum bisa ditangkap.
"Ini Wartawan yang nulis di surat kabar ini mesti sekolah lagi, Djoko Chandra bukan pemilik PT MPP," ujar Fredrich.(bhc/mdb) |