Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Peradilan    
DPR RI
MK: Pemeriksaan Anggota DPR Tidak Perlu Izin Mahkamah Kehormatan
Saturday 26 Sep 2015 16:09:58
 

Ilustrasi. Suasana Sidang Paripurna Anggota DPR RI.(Foto: BH/mnd)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) Pasal 245 ayat (1). Putusan tersebut menyatakan penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak perlu seizin Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), melainkan harus dengan izin tertulis dari Presiden.

“Mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon II untuk sebagian,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan nomor 76/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Selasa (22/9) lalu.

Pasal 245 ayat (1) UU MD3 menyatakan:

Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.

Mahkamah menyatakan hal penting yang menjadi penilaian Mahkamah dalam permohonan adalah apakah Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan prinsip judicial independent, prinsip equality before the law, dan prinsip non-diskriminasi yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat(1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan anggota DPR sebagai pejabat negara pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang yang dalam pelaksanaan kekuasaannya mempunyai hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945. Pelaksanaan fungsi dan hak konstitusional anggota DPR tersebut, imbuh Mahkamah, juga harus diimbangi dengan adanya perlindungan hukum yang memadai dan proporsional.

“Hal tersebut agar anggota DPR tidak dikriminalisasi dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan konstitusonalnya sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab,” jelas Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams membacakan pertimbangan hukum.

Lebih lanjut, menurut Mahkamah, berdasarkan adagium yang menyatakan bahwa terhadap sesuatu yang berbeda seharusnya diperlakukan berbeda dan terhadap sesuatu yang sama harus diperlakukan sama, pejabat negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yang diembannya memang berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat negara. Sebab, dalam rangka menjalankan fungsi dan haknya, pejabat negara memiliki risiko yang berbeda dengan warga negara lainnya.

“Meskipun memang diperlukan adanya perlakuan yang berbeda untuk menjaga independensi dan imparsialitas lembaga negara dan pejabat negara, namun perlakuan demikian tidak boleh bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas-asas peradilan pidana, apalagi sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum,” tutur Wahiduddin.

Proses pengaturan persetujuan tertulis dari MKD kepada anggota DPR yang sedang dilakukan penyidikan, menurut Mahkamah tidak tepat karena MKD adalah alat kelengkapan DPR yang tidak berhubungan dengan sistem peradilan pidana. Terlebih proses pengisian anggota MKD yang bersifat dari dan oleh anggota DPR berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. “Oleh karena itu, menurut Mahkamah, proses persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang akan dilakukan penyidikan harus dikeluarkan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara,” tegasnya.

Persetujuan tertulis dari Presiden dinilai Mahkamah merupakan salah satu fungsi dan upaya menegakkan mekanisme checks and balances antara pemegang kekuasaan legislatif dengan pemegang kekuasaaan eksekutif. Namun, tindakan penyidikan yang memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden tersebut harus diterbitkan dalam waktu yang singkat agar terwujud proses hukum yang berkeadilan, efektif, dan efisien, serta menjamin adanya kepastian hukum.

Menurut Mahkamah, pemberian persetujuan secara tertulis dari Presiden kepada pejabat negara yang sedang menghadapi proses hukum bukan sesuatu yang baru. Hal itu telah diatur pada beberapa Undang-Undang, antara lain, UU MK, UU BPK, dan UU MA.

Terkait dengan proses penyidikan yang diatur dalam UU a quo memang hanya dikhususkan untuk anggota DPR sedangkan untuk anggota MPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tidak diatur dalam bagian atau paragraf secara khusus. Namun menurut Mahkamah, perihal pengaturan proses penyidikan khususnya terkait dengan syarat persetujuan tertulis dari Presiden juga harus diberlakukan untuk anggota MPR dan anggota DPD. Adapun untuk anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota, pemeriksaan harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri dan untuk anggota DPRD kabupaten/kota harus mendapat persetujuan tertulis dari Gubernur.

Sebelumnya, para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 245 UU MD3. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk pembatasan dan intervensi yang dilakukan oleh lembaga di luar sistem peradilan pidana yaitu Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI dan berpotensi menimbulkan gangguan secara langsung atau tidak langsung terhadap kemerdekaan aparat penegak hukum. Pemohon menilai hal ini disebabkan oleh keharusan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan. Hal inilah yang dirasakan Pemohon akan menghambat penyidik melakukan pencarian dan pengumpulan bukti. “Dengan ketentuan tersebut, akan menghambat proses penyidikan yang juga akan menjadi beban terhadap APBN dan Pemohon merupakan pembayar pajak menjadi salah satu sumber APBN berkeberatan dengan hal tersebut,” paparnya.

Pemohon menilai tenggat waktu 30 hari dalam pasal tersebut, menjadi peluang bagi anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana untuk melakukan upaya penghapusan jejak tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti. Seluruh hambatan ini secara jelas dapat disebut sebagai bentuk intervensi. Pemohon juga menganggap adanya tenggat waktu juga tidak sejalan dengan prinsip cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam proses peradilan pidana, dan memperlambat proses peradilan karena prosedur perijinan yang bertambah dan rumit, serta akan menambah biaya.

Pemohon juga mendalilkan UU tersebut melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum karena adanya tindakan diskriminatif bagi anggota DPR. Pemohon berpendapat bahwa anggota DPR sebagai subjek hukum, harus diberlakukan sama di hadapan hukum dan tidak diberikan keistimewaan saat menjalani proses hukum. Ketentuan ini menurut Pemohon bukanlah keistimewaan untuk menjaga harkat dan martabat pejabat negara, namun dapat berakibat terhampatnya proses hukum. Hal ini tentunya, bertentangan dengan prinsip non diskriminasi. “Atas dasar tersebut, Para Pemohon meminta MK untuk membatalkan ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” paparnya.(LuluHanifah/mk//bh/sya)



 
   Berita Terkait > DPR RI
 
  Polisi Tetapkan Pengguna dan Pembuat Plat DPR RI Palsu Jadi Tersangka
  Putusan MKMK Bisa Jadi Amunisi Politik Bagi DPR RI Memakzulkan Presiden Jokowi
  Seluruh Fraksi DPR, DPD dan Pemerintah Setuju RUU 5 Provinsi Dibawa ke Rapat Paripurna
  Ini Kisah 'Falun Gong' yang Hadir dalam Rapat Paripurna DPR-RI
  Henry Indraguna Dipercaya Jadi Anggota Dewan Pakar Golkar dan Tenaga Ahli DPR RI
 
ads1

  Berita Utama
Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

Usai Resmi Ditahan, Hasto Minta KPK Periksa Keluarga Jokowi

 

ads2

  Berita Terkini
 
BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

Anak 'Crazy Rich' Alam Sutera Pelaku Penganiayaan, Sudah Tersangka Tapi Belum Ditahan

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2