JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan dari sepuluh warga Kalimantan Timur (Kaltim), atas Pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2012 tentang pembentukkan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), Kamis (5/12), yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva.
Dalam bagian pertimbangan putusan perkara nomor 16/PUU-XI/2013 yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Mahkamah menilai bahwa pembentukan Provinsi Kaltara sebagai daerah pemekaran wilayah Provinsi Kalimantan Timur, dimaksudkan sebagai pelaksanaan otonomi daerah untuk meningkatkan pelayanan publik, guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat sehingga hal tersebut berkaitan erat dengan urusan pemerintahan daerah yang menjadi kewenangannya.
Menurut Mahkamah, pelaksanaan otonomi daerah pada hakikatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan pembangunan sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat. Selain itu, Mahkamah melihat otonomi daerah merupakan cara untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab, sehingga dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang penguatan koordinasi tingkat lokal.
Terhadap argumentasi Pemohon mengenai masih adanya campur tangan Gubernur Kaltim terhadap pemerintahan Provinsi Kaltara, Mahkamah menilai Gubernur Kaltim selaku penanggung jawab pemerintahan provinsi induk wajib memberikan dukungan, agar terjadi proses pengalihan fasilitas, aset, keuangan, personil kepada daerah pemekaran, agar antara daerah induk dengan daerah baru tercapai keseimbangan dan kesinambungan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena itu menurut Mahkamah, peranan Gubernur Kaltim sebagai provinsi induk dalam memberikan pertimbangan pada pengangkatan Penjabat Gubernur Provinsi Kaltara telah sejalan dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang harus dipatuhi oleh aparatur pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum. Dengan perimbangan tersebut, maka dalil Para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Sebelumnya, Para Pemohon yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang berasal dari sejumlah kabupaten/kota yang kini menjadi bagian dari Provinsi Kaltara dalam permohonannya menilai UU Pembetukkan Provinsi Kaltara menyebabkan ketidakpastian hukum, dan menghambat masyarakat memperoleh haknya untuk sejahtera.(Ilh/mh/MK/bhc/sya) |