JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji material (judicial review) atas UU Nomor 11/2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun anggaran 2011.
Permohonan itu dianggap tidak beralasan menurut hukum. Dalam dalilnya, para pemohon mengutarakan bahwa APBN tahun anggaran 2011 yang tertera dalam UU Nomor 10/2010 dan perubahannya yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2011 tidak relevan dengan UUD 1945.
"Mahkamah menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Mahfud MD dalam persidangan yang berlangsung di gedung MK, Jakarta, Rabu (28/12).
Putusan ini dikeluarkan hakim konstitusi, terkait pengujian UU tersebut yang diajukan Koalisi LSM untuk APBN Kesejahteraan, antara lain Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Prakarsa, Futra, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Trade Union Rights Centre (TuRC), Ridaya La Ode Ngkowe, dan Dani Setiawan.
Salah satu dalil yang diajukan pemohon yakni tentang anggaran DPID dan DPPID. Pada Pasal 27 ayat (8) UU APBN 2011 terdapat istilah DPID dan DPPID bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945, karena diangap tumpang tindih dengan dana alokasi khusus, tidak adil dan tidak selaras dengan UU organiknya.
Hal tersebut dianggap pemohon dapat membuka potensi terjadinya penyalahgunaan angaran yang mengakibatkan tidak terpenuhinya amanat konstitusi demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tapi menurut Mahkamah, hal itu bukanlah persoalan konstitusionalitas, melainkan implementasi UU yang penyelesaiannya memerlukan kemampuan menajerial para pengelola.
Dalam dalil permohonannya, para pemohon juga menyatakan minimnya anggaran kesehatan anggaran untuk kesehatan di luar komponen gaji hanya dialokasikan sebesar Rp 24,98 triliun (sekitar 1,94% dari APBN 2011). Padahal, Pasal 171 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mewajibkan alokasi 5% untuk anggaran kesehatan dalam APBN.
Selain itu, APBN-P 2011 justru lebih banyak digunakan untuk hal-hal tak jelas pertanggungjawabannya demi memenuhi kepentingan pemerintah dan DPR. Artinya, postur APBN-P 2011 masih jauh dari semangat konstitusi yang mengamanatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), 28H ayat (1), Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Namun, Mahkamah berpendapat terdapat perbedaan antara UU No.36 Tahun 2009 mengenai prosentase anggaran kesehatan minimal sebesar 5% dari APBN di luar gaji dengan UU APBN 2011 yang untuk anggaran kesehatan tidak mencapai 5% dari APBN 2011.
Selanjutnya, dalil para pemohon bahwa UU APBN 2011 sebagai pelaksanaan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 tentang Anggaran Pembangunan Gedung Baru DPR. Tapi Mahkamah berpendapat pembangunan gedung baru DPR dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak memiliki keterkaitan. Mahkamah juga berpendapat bahwa pengalokasian anggaran studi banding dan pembelian pesawat terbang kepresidenan dalam APBN, justru merupakan pelaksanaan pengelolaan keuangan negara secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai dengan Pasal 23 ayat (1).
"Penetapan suatu anggaran di dalam UU APBN 2011 merupakan proses yang tidak sekali jadi, melainkan meliputi tahap-tahap panjang yang terbuka. Dengan demikian, permohonan para Pemohon mengenai pengujian anggaran pembangunan gedung baru DPR, studi banding, dan pembelian pesawat kepresidenan dalam UU APBN 2011 tidak tepat dan tidak beralasan menurut hukum," begitu amar putusan MK.
Dangkalnya Pertimbangan
Atas putusan tersebut, Koalisi LSM menyesalkan sikap MK ini. MK dianggap tidak secara sungguh-sungguh mendalami materi gugatan para pemohon. Ini terlihat dari dangkalnya pertimbangan yang dipergunakan MK dalam putusan, dengan memberikan penjelasan pertimbangan yang sama terhadap materi gugatan yang berbeda satu sama lain. "Kami sangat menyesalkan putusan MK yang tak prorakyat ini," kata anggota Koalisi LSM, Ucok sky Khadafi dari Fitra.
Putusan MK, dianggap menjadi preseden buruk terjadinya pelanggaran konstitusi dalam UU APBN. Hal ini terlihat dari Putusan MK yang sama sekali tidak memberikan gambaran kerangka APBN yang konstitusional. MK, tegasnya lagi, seharusnya paham, APBN adalah wujud pemenuhan hak-hak konstitusi warga, dengan adanya putusan MK APBN akan terus menerus dikelola hanya untuk kepentingan elit dan terjadinya pelanggaran UU.
Menurut dia, Koalisi LSM untuk APBN Kesejahteraan akan kembali mengajukan uji materi terhadap UU APBN 2012, sampai MK memutuskan rumusan APBN yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi. "Pemerintah dan DPR harus memenuhi alokasi 5% anggaran kesehatan dan ini didukung dari dissenting opinion terhadap anggaran kesehatan yang bertentangan dengan konstitusi," kata Ucok.(dbs/wmr)
|