JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Kontitusi (MK) menolak permohonan mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Nomor 33/PUU-IX/2011 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya pada Selasa (26/2).
“Menolak untuk seluruhnya permohonan Pemohon,” ucap Mahfud membacakan putusan yang diajukan oleh Perkumpulan Institut Keadilan Global dan beberapa asosiasi lainnya.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Harjono, Pemohon pada dasarnya mendalilkan, Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n ASEAN Charter yang merupakan lampiran dan bagian yang tidak terpisahkan dari UU 38/2008 merugikan hak konstitusional para Pemohon sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi, lanjut Harjono, Mahkamah berpendapat undang-undang berlaku sebagai norma hukum, maka negara Indonesia dan negara lain, dalam hal ini negara ASEAN wajib terikat secara hukum oleh UU 38/2008.
“Kewajiban yang dibebankan kepada suatu negara oleh perjanjian internasional tidaklah lahir karena perjanjian internasional bersangkutan telah disahkan sebagai Undang-Undang oleh pihak negara lain tetapi kewajiban tersebut lahir karena para pihak dalam hal ini negara-negara sebagai subjek hukumnya telah menyetujui bersama suatu perjanjian. Hal demikian sesuai dengan asas pacta sunt servanda,” paparnya.
Selain itu, sambung Harjono, apabila dikaitkan dengan pembuatan undang-undang memang undang-undang adalah bentuk hukum yang dibuat oleh Presiden bersama DPR, namun hal demikian tidak berarti bahwa setiap produk hukum yang dibuat Presiden bersama DPR berbentuk undang-undang. Aspek yuridis lain yang harus dipertimbangkan adalah negara lain dapat menggunakan upaya hukum dalam sistem hukum Indonesia apabila dipandangnya bahwa pihak Indonesia telah melanggar perjanjian internasional yang dibuat bersama. Oleh karena bentuk hukumnya, undang-undang yang di dalamnya diatur hak dan kewajiban negara yang membuat perjanjian, maka sebagai konsekuensinya negara lain tersebut dapat melakukan gugatan di pengadilan Indonesia atas pelanggaran yang dilakukan oleh Indonesia terhadap perjanjian internasional yang diwadahi dalam undang-undang Indonesia.
“Hukum internasional telah menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa tersendiri yang berbeda dengan hukum nasional, di antaranya, melalui Mahkamah Internasional atau International Court of Justice untuk sengketa-sengketa yang timbul dari perjanjian antarnegara. Pilihan bentuk hukum ratifikasi perjanjian internasional dalam bentuk formil undang-undang, khususnya pada ASEAN Charter yang disahkan dengan UU 38/2008 perlu ditinjau kembali,” jelasnya.
Secara formal, urai Harjono, ASEAN Charter oleh Pemerintah Negara Indonesia diberi bentuk Undang-Undang, yaitu UU 38/2008. Sedangkan, secara substansi ASEAN Charter berisikan kebijakan makro dalam bidang perdagangan yang disepakati oleh negara anggota ASEAN.
“Dan secara nasional berlakunya kebijakan makro tersebut tergantung kepada masing-masing negara anggota ASEAN untuk melaksanakan Pasal 5 ayat (2) ASEAN Charter, artinya kalau sebuah negara belum melakukan ketentuan Pasal 5 ayat (2) ASEAN Charter termasuk Indonesia, maka charter tersebut belum secara efektif berlaku. Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, dalildalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” urainya.
Dissenting Opinion
Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan Maria Farida Indrati mengajukan pendapat berbeda. Hamdan menyatakan pemberian bentuk undang-undang atas persetujuan DPR mengenai perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional adalah tidak tepat, bahkan dapat merugikan Indonesia karena dengan bentuk undang-undang Indonesia akan kesulitan dalam melakukan usul penyesuaian atau peninjuan kembali atas suatu perjanjian internasional. Selain itu, Indonesia akan kesulitan dalam melakukan tindakan resiprokal manakala negara lain melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, karena sangat mungkin suatu negara peserta melanggar perjanjian, sementara Indonesia tidak dapat melakukan hal yang sama karena akan melanggar hukum nasional Indonesia. Persetujuan DPR atas perjanjian internasional sebagaimana dimaksud Pasal 11 UUD 1945, cukup dilakukan dengan bentuk pengesahan biasa yang tidak berbentuk undang-undang, sama dengan persetujuan DPR mengenai pernyataan perang.
“Dengan demikian, menurut saya UU 38/2008 sebagai bentuk hukum persetujuan DPR atas Charter Of The Association Of Southeast Asian Nations, tidak dapat dijadikan objek pengujian undang-undang yang menjadi wewenang Mahkamah. Oleh karena itu, permohonan a quo, seharusnya tidak dapat diterima,” jelasnya.
Sementara itu, Maria berpendapat Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian Internasional bukanlah suatu peraturan perundang-undangan yang substansinya bersifat normatif, yang adressat normanya dapat secara langsung ditujukan kapada setiap orang, tetapi merupakan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah untuk memenuhi Pasal 11 UUD 1945, dan diberi ”baju” dengan undang-undang.
“Menurut saya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) bukan merupakan objek pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian seharusnya permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima,” tandasnya.(la/mk/bhc/rby) |