Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Opini Hukum    
Penistaan Agama Islam
Menakar JPU dari Jakgung pada Kasus Ahok
2016-12-07 09:52:18
 

Ilustrasi. Jaksa Agung dan Ahok.(Foto: Istimewa)
 
Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman

DALAM SISTIM peradilan pidana (crime justice systems), kedudukan Jaksa Agung (Jakgung) adalah penuntut umum. Jakgung adalah 'ghost' terhadap eksistensi JPU (Jaksa Penuntut Umum). Dan Jaksa Agung wajib menggunakan haknya dalam KUHAP (pasal 183, 184, 185, 186) untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Ghost adalah otak dari JPU yang wajib membuktikan tuduhannya. Sedangkan JPU adalah kepanjangan tangan dari ghost untuk melakukan acaranya mengikuti hukum acara (KUHAP).

Jadi, ketika perkara sampai pada tahap P21 (telah dilimpahkan), JPU sudah harus memiliki keyakinan bahwa terdakwa bersalah. Jika sebaliknya, JPU bisa menerbitkan surat penghentian penuntutan perkara (SKP2) atau tuntutan bebas murni di pengadilan (vis praak).

Terkejut dalam benak saya, ketika kemarin Jakgung menyatakan kepada pers agar Ahok tidak dijustifikasi. Maksudnya, agar Ahok tidak dinilai bersalah. Kepada siapa pernyataan Jakgung ditujukan? Pernyataan ini paradoksal dengan tugas Jakgung.

Tidak dapat pernyataan Jakgung tadi dipandang dari azas presumption of innocent (praduga tak bersalah). Dalam aturan peradilan azas presumtion of innocent hanya digunakan oleh lawan penuntut, yaitu pengacara yang bertindak selaku pembela terdakwa. Itu satu.

Kedua, oleh hakim yang mengadili hingga majelis hakim memutuskan perkara.

Ketiga, juri yang mengadili dalam system Anglo Saxon dan British Law yang memutus guilty or not guilty (salah atau benar).

Keempat, publik di luar pengadilan hingga terbit putusan berkekuatan hukum tetap (inkraht).

Kemudian, di luar keempat (4) aspek itu adalah pers. Dimana paradigmanya, adalah trial by the pers (penghukuman oleh pemberitaan media massa) yang wajib dicegah.

Di luar itu, penggunaan tuduhan salah benar adalah masalah etis dan tidak. Maling yang tertangkap tangan harus dinyatakan bersalah, begitu juga dengan Ahok.

Landasan moral publik harus menjadi nilai moral teknik yuridis. Jika terjadi paradok antara keduanya, ada yang tak beres pada hukum secara fatal. Nilai moral publik ini dikenal sebagai voluntee generale de tu, berbasis hukum-hukum. dasar (agama, adat, tradisi, dan kebiasaan) adalah juga hukum di mana hukum positif mengekspresikan hukum negatif (moral) memakai positivisme yuridis Joan Bodin dan Von Jehring yang digunakan Indonesia hingga kini.

Terjadi ketidakpastian hukum jika JPU memiliki keyakinan bahwa terdakwa yang ia tuduh adalah innocent, berlawanan dengan tugasnya. Di sini saya gagal paham. Sebab Jaksa Agung adalah kepanjangan tangan pemerintah, begitu pula hakim, yang dengan demikian tak ditemukan apa yang disebut "badan peradilan yang tidak memihak" sebagai prasyarat Negara Hukum pada Pasal 1 Ayat 3 UUD 45. Badan peradilan yang tidak memihak itu adalah Juri. Peradilan di Indonesia, hakim merangkap juri. Sangat runyam.

Lawan dari JPU adalah para lawyer dalam kedudukannya selaku pengacara terdakwa. Setelah berlalunya periode sistem pokrol, digantikan dengan istilah pengacara, para lawyer bekerja secara kawanan. Nyaris tak ada perkara yang ditangani oleh pengacara tunggal. Selain menggunakan ghost, juga menggunakan investor hukum. Umumnya ghost menjadi bagian dari investor hukum, yang membiayai perkara, dan pengacara hanya melakukan acaranya sesuai mengikuti hukum acara.

Tugas pengacara adalah memberikan perlawanan kepada bukti yang diajukan oleh JPU. Jika bukti JPU rapuh, pengacara dengan mudah mematahkannya. Jika JPU dan pengacara terdakwa bersatu, dapat dipastikan terdakwa lolos. Menurut saya, dari pernyataan Jakgung tadi, Ahok lolos dari dakwaan. Majelis hakim yang pada umumnya memiliki kerjasama yang erat dengan JPU, juga akan ikut. Terutama karena bukti sudah dilemahkan.

Para penuntut Ahok tak memiliki daya sama sekali dalam persidangan itu karena berada di luar hukum acara. Sampai di sini bahaya yuridis yang dikemukakan mantan Jakgung Basrif Arief yang meminta agar Jakgung diganti dengan yang netral di mana Jakgung Prasetyo adalah Ketua DPP Nasdem, sedang Nasdem adalah pendukung fanatik Ahok. Kasus Ahok niscaya menggerus pengadilan setelah kepolisian, disamping itu tampaknya demo Islam masih akan berlanjut panjang untuk menagih keadilan.

Penulis adalah politisi dan mantan Anggota Komisi III DPR RI.(bh/mnd)



 
   Berita Terkait > Penistaan Agama Islam
 
  DICARI!!, Setelah M Kece, Pria Ini Jadi Buronan Netizen Gegara Hina Nabi Muhammad
  HNW Apresiasi Kinerja Polri Tangkap Terduga Penista Agama
  Sukmawati, Potret Sosial-Politik dan Hukum Kita
  Bareskrim Polri Tetapkan Ustadz Bachtiar Nasir sebagai Tersangka Dugaan TPPU
  Jubir PA 212 Kembali Mendatangi PMJ untuk Menanyakan LP Ketua BTP Mania, Immanuel Ebenizer
 
ads1

  Berita Utama
Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

Usai Resmi Ditahan, Hasto Minta KPK Periksa Keluarga Jokowi

 

ads2

  Berita Terkini
 
BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

Anak 'Crazy Rich' Alam Sutera Pelaku Penganiayaan, Sudah Tersangka Tapi Belum Ditahan

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2