JAKARTA, Berita HUKUM - Jelang vonis pekan depan pada 15 Juni 2020 terhadap terdakwa Miftahul Ulum pelaku suap kasus korupsi terkait dana hibah Kemenpora, Miftahul Ulum menyampaikan permintaan maaf karena ia sempat menyinggung nama Achsanul Qosasi (Anggota Badan Pemeriksa Keuangan) dan Adi Toegarisman Mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada, Jumat (15/5) lalu.
Mantan asisten pribadi (Aspri) mantan Menpora terpidana Imam Nahrawi, Miftahul ulum dituntut hukuman penjara selama 9 tahun dan denda Rp 300 subsider 6 bulan kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ulum yang menjadi terdakwa kasus suap dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) menyampaikan permintaan maafnya itu usai sidang pembacaan pledoi dirinya secara virtual dari gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari Selasa (9/6) di Jakarta.
"Saya juga dalam kesempatan ini tadi juga dalam majelis saya sampaikan permohonan maaf saya kepada pertama Bapak Adi Toegarisman beserta keluarganya. Yang kedua kepada Bapak Achsanul Qosasi beserta keluarga besarnya terkait dalam persidangan saya singgung dan seluruhnya saya mohon maaf," kata Ulum.
Dirinya mengaku tidak pernah bertemu, tidak pernah berkomunikasi dan tidak mengenal dengan Adi Toegarisman dan Achsanul Qosasi, maupun orang utusan suruhannya, kata Ulum menyatakan di persidangan.
"Saya tidak bertemu. Karenanya saya minta maaf kepada beliau, terlebih hari ini masih bulan Syawal, masih suasana lebaran, sekali lagi saya meminta maaf," ungkapnya.
"Saya hanya mendengar cerita dari pertemuan yang sudah saya lakukan dengan Hamidi dan yang lainnya. Ya cukup itu mungkin yang bisa saya sampaikan. Saya mohon maaf sebesar-besarnya dan semoga Bapak Achsanul Qosasih, juga Bapak Adi Toegarisman sudi menerima permohonan maaf saya," tutup Umul.
Diketahui, Miftahul Ulum dituntut hukuman 9 tahun penjara, karena dinilai terbukti menerima suap dan gratifikasi di lingkungan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) terbukti menerima suap Rp11,5 miliar. Suap berasal dari Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy. Suap tersebut untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan oleh KONI Pusat kepada Kemenpora.
Miftahul dianggap melanggar Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Miftahul juga terbukti menerima gratifikasi Rp8,648 miliar. Rinciannya, gratifikasi dari Hamidy sebanyak Rp300 juta dan sejumlah Rp4,948 miliar sebagai uang tambahan operasional untuk Menpora.
Kemudian Rp 2 miliar sebagai pembayaran jasa desain dari Lina Nurhasanah selaku eks Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora RI Tahun Anggaran yang bersumber dari uang anggaran Satlak Prima. Uang sejumlah Rp1 miliar dari Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Rp400 juta dari eks Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) Supriyono.
Dalam perkara gratifikasi, Miftahul dinilai melanggar Pasal 12B ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.(bh/mnd) |