TURKI, Berita HUKUM - Posisi Turki dalam diplomasi global menjadi semakin penting di tengah perang Ukraina yang terus berkecamuk. Hal itu terlihat dari para pemimpin dunia yang segera memberikan ucapan selamat atas kemenangan Erdogan dalam Pilpres Turki pada Minggu (28/5).
Pemimpin negara yang pertama mengucapkan selamat kepada Erdogan adalah Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Ia bahkan tidak menunggu pengumuman hasil pemungutan suara resmi sebelum memuji Erdogan atas kemenangannya, yang ia sebut adalah berkat "kebijakan luar negeri yang independen" dari Erdogan.
Dapat diasumsikan bahwa kebijakan luar negeri yang dimaksud oleh Putin adalah keputusan Erdogan untuk tidak memberikan sanksi kepada Rusia setelah Kremlin meluncurkan invasi skala besar terhadap Ukraina. Padahal, paara sekutu Turki yang duduk di NATO tetap memberlakukan sanksi terhadap Rusia dan memutus ketergantungan dengan bahan bakar Rusia.
Perdagangan antara Rusia dan Turki juga meningkat secara signifikan sejak awal perang Ukraina.
Tak lama setelah Putin, Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden Prancis Emmanuel Macron juga menyampaikan ucapan selamat kepada Erdogan.
Kedua sosok ini sebenarnya kurang setuju dengan keakraban Erdogan dan Rusia - serta aksi Erdogan membungkam kebebasan berpendapat dan nilai-nilai demokrasi selama kepemimpinannya.
Namun, Turki menjadi sekutu yang krusial bagi Barat, meski terkadang sulit dan tak bisa diprediksi.
Apa yang membuat Turki penting bagi Barat?
Erdogan mengatakan "tidak ada yang kalah" dalam pidato kemenangannya
Turki merupakan anggota penting dalam persekutuan militer NATO dan negara-negara Barat.
Erdogan tetap memberikan dukungan militer kepada Ukraina seperti dilakukan anggota-anggota NATO lainnya, walaupun dia memiliki hubungan erat dengan Rusia.
Alhasil dia bisa menjembatani kesepakatan dengan Rusia agar Putin menghapus blokade ekspor gandum Ukraina ke negara-negara yang membutuhkannya.
Setelah lama mempertimbangkan, Erdogan juga akhirnya memberikan persetujuan kepada tetangga Rusia, Finlandia, untuk bergabung dalam NATO.
Dulu Erdogan sangat menginginkan agar Turki dapat bergabung dalam Uni Eropa. Namun, kini Erdogan lebih sering menyuarakan impiannya untuk "membuat Turki hebat lagi".
Bagi dia penting untuk memiliki kebijakan luar negeri yang lebih independen. Karena itu, dalam beberapa tahun terakhir, ia menciptakan hubungan yang sangat transaksional dengan para sekutunya.
Pemerintah AS sudah lama berupaya untuk melobi Erdogan agar ia memberi persetujuan bagi Swedia untuk menjadi anggota NATO mengingat Swedia dapat memberikan akses ke Laut Baltik untuk melawan Rusia.
Negara-negara Barat berharap keadaan ekonomi Turki yang sulit serta kemungkinan Erdogan harus berfokus pada menstabilkan keuangannya dan membutuhkan investasi asing, dapat menjadi titik tumpu untuk mendorong persetujuannya kepada Swedia untuk menjadi anggota NATO.
Turki dan Hungaria adalah dua negara yang masih menolak permintaan Swedia untuk masuk NATO.
Sementara, Presiden Macron khawatir mengenai migrasi penduduk Suriah ke Uni Eropa dan berharap dapat mendapatkan kepastian dari Presiden Erdogan secepat mungkin.
Selama krisis migrasi pada 2015, lebih dari satu juta pengungsi dan pencari suaka - kebanyakan dari Suriah - menempuh perjalanan berbahaya melewati Laut Mediterania ke Uni Eropa menggunakan kapal-kapal penyelundup.
Untuk mencegah terulangnya kejadian tersebut, Uni Eropa membuat kesepakatan dengan Turki.
Mereka memberikan dana besar dan akses tanpa visa bagi orang Turki yang ingin masuk wilayah Uni Eropa (meski ini tak jadi diterapkan setelah Erdogan memenjarakan kritikus dan lawan politiknya).
Sebagai imbalan, Erdogan akan berusaha untuk mencegah migran tanpa dokumen resmi meninggalkan wilayah Turki dan masuk ke Uni Eropa.
Namun, jumlah pengungsi Suriah yang meluap di Turki menuai banyak protes dari penduduknya.
Bahkan, di masa pemilihan umum, semua partai politik berjanji untuk memberikan solusi untuk "masalah migran" itu.
Uni Eropa berprasangka bahwa ada kemungkinan para pengungsi akan dikeluarkan oleh Turki dan dikembalikan ke Suriah yang dapat membahayakan mereka.
Tak hanya itu, Turki bisa saja memperbolehkan penyelundup migran kembali berulah serta mengirim kapal untuk para pencari suaka dan pengungsi agar dapat melintasi Laut Mediterania.
Di sisi lain, para pemimpin Uni Eropa juga sedang kurang bersahabat dengan Turki akibat anggota mereka, Yunani, yang menghadapi perselisihan dengan Erdogan terkait sejumlah pulau yang ada di Laut Aegea.
Sementara, Siprus masih menaruh dendam setelah Erdogan memberikan solusi yang menyatukan Yunani dan Turki untuk terbelahnya wilayah itu akibat invasi Turki yang terjadi hampir 50 tahun lalu.
Pihak Barat dulu memandang Turki sebagai negara yang strategis karena posisinya sebagai jembatan antara Eropa dan Timur Tengah. Namun, status Turki kini sudah berubah akibat invasi Rusia terhadap Ukraina.
Tak banyak yang mengira akan ada perubahan kebijakan besar-besaran saat Erdogan memasuki dekade ketiganya berkuasa. Namun, para sekutu Turki sedang memantau keputusan-keputusannya dengan sangat
Sebab, apa pun yang dilakukan Turki akan berdampak kepada mereka.(BBC/bh/sya)
|