JAKARTA, Berita HUKUM - Disentralisasi lembaga asing dan semangat otonomi daerah yang kebablasan, menjadi salah satu sebab tingginya angka korupsi di Indonesia. Saat ini korupsi sudah menjamur dari pusat hingga pelosok daerah, penguasa daerah mejadi raja-raja kecil yang mengeruk kekayaan alamnya untuk mempertahankan kekuasaanya.
Hal ini disampaikan Salamudin Daeng, Pengamat sektor pengelolaan sumber daya alam dan mineral, dalam diskusi di Gedung DPP Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Pejuang 45 didampingi H.M Hasbi Sekjend Laki dan K.H Misbahul Anam dari FPI.
Menurutnya, posisi Indonesia dalam perdagangan dunia sangat strategis. Saat ini Indonesia berada pada peringkat 6 dalam hal cadangan emas, dan nomor 5 dalam produksi tembaga, serta pada urutan 5 dalam produksi bauksit, dan penghasil timah terbesar di dunia setelah Cina.
Indonesia juga sebagai produsen Nikel terbesar ke 2 didunia, namun hingga saat ini, kekayaan alam Indonesia belum dapat dikelola dengan baik, masih terus saja diselewengkan, serta dikuras sebesar-besarnya oleh perusahaan asing dan birokrat korup.
Salamudin juga mencontohkan, tambang Grasberg Freeport di Papua, juga
kaya dalam komoditi pertambangan dan kehutanan Indonesia berada pada nomor urutan 1 dalam urusan produksi. Ekploitasi sumber daya alam Indonesia terus meningkat pesat sejak era reformasi, ada 3 faktor penyebab Indonesia selalu gagal dalam mensejahtrakan rakyatnya dari sektor pertambangan.
"Pertama, liberalisasi ekonomi, yang dimulai dengan amandement UUD 1945, amandemen yang membuka perekonomian selebar - lebarnya bagi pemodal swasta baik nasional maupun modal asing, investasi dan keuangan, ujar Salamudin Daeng, Sabtu (2/11).
Kedua, berbagai perjanjian International, baik itu dibidang investasi perdagangan dan lingkungan hidup yang di tanda tangani oleh pemerintah Indonesia yang memperkuat kedudukan dan perlindungan terhadap investasi swasta, baik melalui hubungan hubungan Bilateral Investment Treaty, maupun Free Trade Agreement/ economic Partnership Agreement (FTA/EPA) yang semakin membuka peluang bagi penguasa modal.
Menurut aturan dagang Internasional negara tidak dilarang memberi bantuan uang tunai, namun tidak dilarang memberikan subsidi, mereka Bank Dunia tidak mau perekonomian kita bangkit lagi, sektor pertanian kita bangkit. Rakyat kita saat ini hanya dikasih uang cash saja, seperti BLT, Bansos, dana Bos, dll, yang semuanya itu hanya menambah beban hutang negara. (hutang Indonesia yang tercatat bulan Juli 2013, sudah menembus Rp. 2.971.733.000.000.000,- (Rp. 2.971 triliun) atau dalam USD dollar sebesar $259.54 billion)
"Lihat saja, orang di kampung, di cekokin dana bansos, orang miskin bisa dapat hingga 9 juta, kenapa negara tidak pernah mengolah Industri strategis disektor baja yang kuat, militer yang kuat, kanapa ngak mikir itu," ujar Salamudin Daeng.
Kenapa politik bagi-bagi uang, dan potensi merusak lebih besar, dengan demokrasi liberal pun, tetap ngak ada yang dengar.
"Saat ini, saya sedang ajukan gugatan uji materi tentang UU No 7, tentang privatisasi air mineral, kok air sudah di perjual belikan, kalau tak ada air kita bisa mati, ini menyangkut hajat hidup orang banyak," pungkasnya.(bhc/put) |