JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) di Ruang Sidang Pleno MK pada Selasa (8/12) lalu. Permohonan yang teregistrasi Nomor 109/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Muchtar Pakpahan dan Vindra dari Dewan Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP (K) SBSI). Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 81 UU Ciptaker bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (2), serta Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945.
Para Pemohon melalui kuasa hukum Gusmawati Azwar mengatakan Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 81 Butir 15 UU Ciptaker menyatakan "Ketentuan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: "Perjanjian Kerja Waktu tertentu (PKWT) yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun." telah dihapus.
Pasal 81 butir 15 UU Cipta Kerja sebagaimana di dalamnya termuat Pasal 65 ayat (2) UU Ketenagakerjaan merupakan jaminan yang menyatakan tidak semua bidang kerja dapat di-outsourcing-kan. Sehingga hanya pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan utama atau inti (core) dari bisnis saja yang bisa dilakukan dengan sistem outsourcing. Menurut Pemohon, dengan dihapusnya norma ini berarti menyamaratakan pada semua bidang kerja tanpa terkecuali dan bahkan tanpa batas waktu. Hal ini berpeluang memperluas kesempatan outsourcing terhadap semua bidang pekerjaan.
"Sekali alih daya atau outsourcing, akan menjadi alih daya selama bekerja. Menurut Bung Karno, aannemer adalah salah satu sistem perbudakan kapitalis imprealisme yang harus dihapus dari bumi Indonesia. Artinya, hal ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945," jelas Gusmawati di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo selaku Ketua Panel dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Daniel Yusmic P. Foekh sebagai Anggota Panel.
Pemohon juga mendalilkan Pasal 81 Butir 26 UU Ciptaker mencabut Pasal 89 dan Pasal 90 UU Ketenagakerjaan. Pasal 89 ayat (4) Upah Minimum sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/walikota. Kemudian Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan berbunyi: "Upah minimum (diarahkan pencapaian kebutuhan hidup layak) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan." Serta Pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan berbunyi: "Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum."
Dengan penghapusan Pasal 89 di atas, tidak ada lagi peranan tripartit (pengusaha, pemerintah, dan buruh), seperti sebelumnya. Gubernur dimungkinkan untuk berunding hanya dengan perwakilan pengusaha tanpa representasi buruh.
Berikutnya, atas hal ini kemudian Agus Supriyadi selaku kuasa hukum Pemohon lainnya menyebutkan bahwa melalui petitum pemohonan meminta agar Mahkamah menyatakan materi UU Ciptaker bertentangan dengan tujuan pembentukan pemerintah negara Indonesia yang tercantum pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea Keempat dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Kedudukan Hukum
Menyikapi permohonan Pemohonan ini, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul memberikan beberapa catatan nasihat. Di antaranya mengenai sistematika permohonan. Norma yang diujikan juga belum terlihat jelas, serta identitas Pemohon. Lebih lanjut, Manahan menjelaskan mengenai kedudukan hukum Pemohon yang mengajukan permohonan atas dua identitas yakni sebagai perorangan warga negara Indonesia dan juga sebagai badan hukum dari DPP Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI). Ini sangat berbeda apabila dipertautkan dengan kedudukan hukumnya, sehingga harus tegas dalam memutuskan pengajuan perkara ini.
"Ini harus perlu ketegasan Pemohon, apakah mau mengajukan sebagai badan hukum privat atau sebagai Pemohon perseorangan," nasihat Manahan kepada para kuasa hukum Pemohon.
Berikutnya, Manahan juga meminta kepada Pemohon untuk menegaskan secara runut kerugian konstitusional yang dialami, baik yang spesifik maupun potensial. Di samping itu, perlu pula Pemohon untuk menguraikan dasar pengujian pada pasal-pasal yang konkret dari UUD 1945 yang benar-benar dinilai mengalami pertentangan dengan norma yang diujikan dalam perkara ini.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengungkapkan apabila dalam perkara ini Pemohon menyatakan diri sebagai badan hukum privat maka sesuai dengan dokumen yang diajukan terdapat perbedaan ketua umum dan sekretaris umum. Untuk itu, perlu dipastikan dalam struktur organisasi yang berhak bertindak mewakili ke dalam dan luar pengadilan.
"Coba cermati sebenarnya organisasi ini badan hukum privat atau badan hukum publik, serikat buruh ini masuk yang publik atau privat agar jelas pula kedudukan hukumnya," kata Daniel.
Pasal yang Bertentangan
Selanjutnya Hakim Konstitusi Suhartoyo mempertanyakan bunyi dari Petitum Pemohon yang tidak menuliskan secara jelas dan pasti pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada permohonan, hanya disebutkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 bertentangan dengan UUD 1945.
"Ini seolah-olah seperti petitum pengujian formil dan seolah-olah pula seluruh undang-undang itu bermasalah dan bertentangan dengan UUD 1945. Padahal di dalam positanya hanya mempersoalkan beberapa pasal saja. Jadi, petitum itu harus sinkron dengan positanya," jelas Suhartoyo.
Sebelum menutup sidang, Suhartoyo mengingatkan apabila Pemohon ingin memperbaiki permohonan, maka perbaikan permohonan harus diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 21 Desember 2020, pukul 14.30 WIB ke Kepaniteraan MK. Untuk selanjutnya dapat diagendakan siding berikutnya.(SriPujianti/MK/bh/sya) |