JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana perkara pengujian Undang-Undang Nomor Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan). Pemberlakuan Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU tersebut dinilai diskriminatif.
Gugatan tersebut diajukan oleh seorang Pegawai Negeri Sipil Kementerian Perhubungan Sigit Sudarmaji. Ia merasa Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Penerbangan yang mengatur tentang jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat udara diskriminatif dan berpotensi mematikan pelaku usaha penerbangan skala kecil.
Adapun Pasal 118 ayat (1) huruf b menyatakan,
memiliki dan menguasai pesawat udara dengan jumlah tertentu;
Sedangkan Pasal 118 ayat (2) menyatakan,
Pesawat udara dengan jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, untuk:
a. angkutan udara niaga berjadwal memiliki paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani;
b. angkutan udara niaga tidak berjadwal memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan daerah operasi yang dilayani; dan
c. angkutan udara niaga khusus mengangkut kargo memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute atau daerah operasi yang dilayani.
Sigit yang berminat menjadi pelaku usaha penerbangan menjelaskan tiga hal yang diskriminatif dalam aturan tersebut. Pertama, diskriminasi terhadap pelaku usaha penerbangan dibandingkan dengan pelaku usaha moda transportasi lain. Misalnya, perbedaan usaha penerbangan dengan pelayaran. “Untuk pelaku usaha pelayaran, tidak ada syarat minimum. Artinya, untuk membuat suatu usaha pelayaran, satu kapal saja cukup,” ujarnya dalam sidang perdana perkara nomor 29/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (12/3).
Selain itu, diskriminasi terjadi antara pelaku usaha penerbangan dengan modal terbatas dengan pengusaha penerbangan yang bermodal besar. Ia menambahkan, niatnya untuk menjadi pengusaha penerbangan pun terhambat karena aturan itu. Hal tersebut lantaran ia harus menguasai setidaknya 10 pesawat dan memiliki 5 di antaranya. “Saya membayangkan suatu saat akan membuat usaha penerbangan dari Pontianak ke Tusibau. Mungkin sekitar 3 rute, sehinggga sebenarnya dalam hitungan kami, mungkin 2 pesawat sudah cukup banyak untuk melayaninya,” imbuhnya.
Aturan itu juga diskriminasif untuk pelaku usaha penerbangan nasional karena hanya diberlakukan untuk industri penerbangan dalam negeri. “Sementara, penerbangan dalam negeri itu dilalui juga oleh maskapai-maskapai dari luar dan kita tidak pernah bertanya jumlah pesawat yang mereka miliki,” jelasnya.
Oleh karena itu, pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Penerbangan bertentangan dengan Konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Perkuat Posita
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan pemohon untuk memperkuat pokok-pokok permohonannya, terutama alasan-alasan mengapa norma yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut karena MK tidak mengadili kasus-kasus konkret dan MK tidak menguji antar undang-undang.
“Kalau Anda membandingkan dengan UU Pelayaran, berarti Anda membandingkan antara dua undang-undang, ini bukan kewenangan Mahkamah konstitusi. Tapi kalau Anda bisa menjelaskan alasan perbedaan keduanya dengan jelas, Anda bisa melihat, pasalnya itu salah atau enggak, gitu,” ujar Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Pemohon juga diminta memperbaiki kedudukan hukumnya dan menguraikan dengan jelas kerugian konstitusional, baik secara riil maupun potensial. “Saya sangat tertarik pada permohonan Anda menyebutkan ada diskriminasi antara pengusaha asing dengan pengusaha Indonesia dalam bidang penerbangan. Itu coba dielaborasi ya karena kalau perusahaan asing kemudian bisa berusaha di Indonesia, toh maskapai penerbangannya bisa masuk Indonesia tanpa diketahui jumlah pesawatnya,” imbuh Arief.(LuluHanifah/mk/bhc/sya) |