Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Politik    
Politik
Pakar Politik: 15 Tahun Reformasi, Indonesia Tergesa-gesa
Sunday 05 May 2013 18:41:47
 

Dialog Indonesia Research and Survey (IReS) di Sahid Hotel Jakarta Pusat, Minggu (5/5).(Foto: BeritaHUKUM.com/opn)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Indonesia Research and Survey (IReS) merilis hasil preferensi tentang perjalanan 15 tahun reformasi Indonesia yang bergulir sejak Mei 1998 dan imbas apa yang diinginkan serta dialami masyarakat saat ini.

Dalam dialog di Sahid Hotel Jakarta Pusat, Minggu (5/5) terungkap bahwa saat ini reformasi malah semakin munculkan raja-raja kecil di daerah. Dan hal ini yang membuat ketidak puasaan masyarakat terhadap sistem otonomi daerah.

Tentang supremasi hukum di masa ini, menurut hasil lembaga survey jawabannya 3,8% sangat puas, 14,8% puas, 42% tidak puas, 16,8% sangat tidak puas, dan 21,8% tidak menjawab.

Dony Cahya Limbawan pakar Politik dari Universitas Indonesia (UI) mengatakan bahwa proses demokrasi merupakan peristiwa rakyat, dan rakyat menginginkan demokratisasi itu milik rakyat.

Kondisi saat Reformasi 1998 replacement, tidak dipersiapakan dengan baik dan sangat tergesa-gesa, kekuasan Suharto saat itu sudah masuk pada tirani.

Bila kita saat ini menjalankan sistem Demokrasi yang anarkis, dan kita harus pindah ke Demokrasi prinsip.

Karena tergesa-gesa, pada waktu itu Pak Habibie mengambil 3 hal, dan tidak siapnya semua elemen bangsa saat itu, dimana ada peristiwa Ciganjur.

"Satu ketergesa-gesa dalam Reformasi, 1. Pers Bebas, 2. Otonomi Daerah, 3. Sistim Multi Partai. Dan dibuka kebebasan pers pada zaman Pak Habibie, apa yang terjadi saat ini Pers itu milik pengusaha, milik Suya Paloh, milik ARB, milik Chairul Tanjung," ujarnya.

Pers tidak Independen sesuai dengan amanat UU, selanjutnya Multi Partai, pernah diterapkan dalam zaman Republik Indonesia Serikat, dan bila menang hanya 60% pemenang tidak bisa berjalan dengan baik dan yang 30% yang kalah jadi oposisi.

Otonomi daerah pada waktu reformasi UU pemilu di sahkan sangat liberal.

"Untuk menang menjadi Presiden kita butuh dana Rp 7 triliun, butuh 70 juta suara. 1 suara x Rp 100 ribu 1 paket sembako baru bisa jadi President," pungkasnya.(bhc/put)



 
   Berita Terkait > Politik
 
  Moralitas dan Spiritualitas Solusi Masalah Politik Nasional Maupun Global
  Tahun Politik Segera Tiba, Jaga Kerukunan Serta Persatuan Dan Kesatuan
  Memasuki Tahun Politik, HNW Ingatkan Pentingnya Siaran Pemberitaan yang Sehat
  Syahganda Nainggolan Desak Jokowi Terbitkan Inpres Agar Menteri Tak Bicara Politik Sampai 2023
  Hadapi Tahun Politik 2024, Syarief Hasan: Pentingnya Mengedepankan Politik Yang Santun
 
ads1

  Berita Utama
Permohonan Praperadilan Tom Lembong Ditolak, Jampidsus Lanjutkan Penyidikan

Polri Bongkar Jaringan Clandestine Lab Narkoba di Bali, Barang Bukti Mencapai Rp 1,5 Triliun

Komisi XIII DPR Bakal Bentuk Panja Pemasyarakatan Usai 7 Tahanan Negara Kasus Narkoba Kabur dari Rutan Salemba

Pakar Hukum: Berdasarkan Aturan MK, Kepala Daerah Dua Periode Tidak Boleh Maju Lagi di Pilkada

 

ads2

  Berita Terkini
 
Permohonan Praperadilan Tom Lembong Ditolak, Jampidsus Lanjutkan Penyidikan

Hari Guru Nasional, Psikiater Mintarsih Ingatkan Pemerintah Agar Segera Sejahterakan Para Guru

Polri Bongkar Jaringan Clandestine Lab Narkoba di Bali, Barang Bukti Mencapai Rp 1,5 Triliun

Judi Haram dan Melanggar UU, PPBR Mendesak MUI Mengeluarkan Fatwa Lawan Judi

Komisi XIII DPR Bakal Bentuk Panja Pemasyarakatan Usai 7 Tahanan Negara Kasus Narkoba Kabur dari Rutan Salemba

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2