JAKARTA, Berita HUKUM - Indonesia Research and Survey (IReS) merilis hasil preferensi tentang perjalanan 15 tahun reformasi Indonesia yang bergulir sejak Mei 1998 dan imbas apa yang diinginkan serta dialami masyarakat saat ini.
Dalam dialog di Sahid Hotel Jakarta Pusat, Minggu (5/5) terungkap bahwa saat ini reformasi malah semakin munculkan raja-raja kecil di daerah. Dan hal ini yang membuat ketidak puasaan masyarakat terhadap sistem otonomi daerah.
Tentang supremasi hukum di masa ini, menurut hasil lembaga survey jawabannya 3,8% sangat puas, 14,8% puas, 42% tidak puas, 16,8% sangat tidak puas, dan 21,8% tidak menjawab.
Dony Cahya Limbawan pakar Politik dari Universitas Indonesia (UI) mengatakan bahwa proses demokrasi merupakan peristiwa rakyat, dan rakyat menginginkan demokratisasi itu milik rakyat.
Kondisi saat Reformasi 1998 replacement, tidak dipersiapakan dengan baik dan sangat tergesa-gesa, kekuasan Suharto saat itu sudah masuk pada tirani.
Bila kita saat ini menjalankan sistem Demokrasi yang anarkis, dan kita harus pindah ke Demokrasi prinsip.
Karena tergesa-gesa, pada waktu itu Pak Habibie mengambil 3 hal, dan tidak siapnya semua elemen bangsa saat itu, dimana ada peristiwa Ciganjur.
"Satu ketergesa-gesa dalam Reformasi, 1. Pers Bebas, 2. Otonomi Daerah, 3. Sistim Multi Partai. Dan dibuka kebebasan pers pada zaman Pak Habibie, apa yang terjadi saat ini Pers itu milik pengusaha, milik Suya Paloh, milik ARB, milik Chairul Tanjung," ujarnya.
Pers tidak Independen sesuai dengan amanat UU, selanjutnya Multi Partai, pernah diterapkan dalam zaman Republik Indonesia Serikat, dan bila menang hanya 60% pemenang tidak bisa berjalan dengan baik dan yang 30% yang kalah jadi oposisi.
Otonomi daerah pada waktu reformasi UU pemilu di sahkan sangat liberal.
"Untuk menang menjadi Presiden kita butuh dana Rp 7 triliun, butuh 70 juta suara. 1 suara x Rp 100 ribu 1 paket sembako baru bisa jadi President," pungkasnya.(bhc/put) |