JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Korban kasus pencurian pulsa banyak yang urung melaporkan kepada pihak kepolisian. Hal ini ditengarai banyak dari takut melapor akibat berbagai intimidasi berupa ancaman yang dilakukan sejumlah pihak yang merasa dirugikan atas pelaporan tersebut. Satu di antaranya adalah laporan balik terhadap pelapor yang menjadi korban pencurian pulsa.
Berdasarkan data dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 2010, tercatat ada sebanyak 110 pengaduan pencurian pulsa. Tetapi pada 2011, jumlahnya merosot di bawah itu. "Ini indikasi adanya ketakutan dari masyarakat. Mereka takut dari tadinya jadi pelapor menjadi terlapor," kata Ketua Panja Pencurian Pulsa Komisi I DPR RI, Tantowi Yahya kepada wartawan, usai rapat dengar pendapat dengan Kabareskrim Polri Komjen Pol. Sutarman di Gedung DPR, Rabu (7/12).
Tantowi memberi contoh yang dialami pelapor sekaligus korban pencurian pulsa, Feri Kuntoro. Ia melaporkan sebuah conten provider (CP), tapi malah dilaporkan balik oleh CP bernama PT Colibri Network. Tuduhannya adalah pencemarkan nama baik. “Feri sempat panic dan berniat mencabut laporannya. Tapi dicegah pihak Mabes Polri dan mendapat perlindungan dari LPSK,” jelas dia.
Faktor lain yang membuat menyusutnya laporan pengaduan dari masyarakat ini adalah karena mereka malas mengadukan hal tersebut. Sebab dengan setelah melapor, malah mengalami kerugian lebih besar. "Banyak yang mengalami, melapor kehilangan pulsa 50 ribu malah kehilangan ponsel. Atau biaya yang mereka keluarkan dalam proses hukum menjadi lebih besar,” imbuh Tantowi.
Sementara itu, anggota Panja Mafia Pulsa Komisi I DPR Teguh Juwarno mendesak kepolisian untuk segera menyelediki atas layanan pesan singkat (SMS) pengaduan untuk Istana di nomor 9949. Tenryata pengiriman SMS itu dikenai tarif dari masyarakat yang mengirimkan SMS pengaduan. Padahal, sejak awal pihak istana menyatakan bahwa layanan SMS pengaduan itu gratis.
“DPR minta Polri juga mengusut kasus ini. Pengaduan masyarakat untuk pihak Istana, ternyata tidak gratis. Padahal, Presiden SBY sebelumnya sudah menyatakan bahwa pengaduan itu gratis alias tidak dikenai potongan pulsa. Tapi ternyata malah dikenai biaya,” kata dia.
Sedangkan pihak Istana Kepresidenan sejak 23 Nopember 2011 lalu, menghentikan untuk sementara layanan pesan singkat balasan bagi setiap pengaduan yang dikirim masyarakat kepada Presiden SBY itu melalui nomor 9949. Langkah ini ditempuh hingga ada penyelidikan lebih lanjut, menyusul banyaknya keluhan masyarakat bahwa SMS pengaduan ke Presiden dipotong pulsa.
CP Asing
Pada bagian lain, Tantowi Yahya juga menyayangkan berkeliarannya CP asing di bisnis kreatif untuk menggerus pulsa masyarakat. Bahkan, ada yang ternyata bekerja sama menggunakan produk asal Israel untuk menyelenggarakan konten. Boleh jadi CP asing ini tidak terdaftar di Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
“Ini tak bisa dilepaskan dari adanya permainan antara operator, regulator, dan CP. Tidak mungkin CP-CP itu bisa berkeliaran tanpa diketahui oleh operator. Soalnya yang berhubungan dengan pelanggan itu adalah operator. Jadi, ini ada faktor kelalaian dan mengabaikan dari regulator dan operator," jelas Tantowi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala mengatakan, awalnya bisnis konten mengandalkan kreativitas. Tapi dengan persaingan yang makin keras itu, maka terjadilah praktik kenakalan. Apalagi ditambah pengawasan yang lemah dari BRTI.
Pemicu lainnya, lanjut dia, kekusutan adalah terjadinya praktik perusahaan di dalam perusahaan. Hal ini akibat operator memberikan keistimewaan kepada CP tertentu. Untuk itu, Panja Mafia Pilsa DPR diminta untuk segera menagih Call Data Record (CDR) milik operator, karena setelah tiga bulan data itu akan di-recycle oleh operator. “Selain itu, juga harus dilakukan audit manajemen profesional terhadap operator, BRTI, dan para CP. Dari situ bisa terlihat di mana yang bermain curang," jelas dia.(dbs/rob)
|