JAKARTA, Berita HUKUM - Permohonan uji Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk sebagian. Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 tersebut menyatakan pembatalan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota oleh Gubernur atau Menteri bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Mengabulkan permohonan Pemohon II sampai dengan Pemohon VII, Pemohon IX sampai dengan Pemohon XVII, Pemohon XX, Pemohon XXII, Pemohon XXV sampai dengan Pemohon XXXV dan Pemohon XXXVII sampai dengan Pemohon XXXIX sepanjang pengujian Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (8) serta ayat (4) sepanjang frasa '...pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat' Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah," ujar Ketua MK Arief Hidayat didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Rabu (5/4).
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menjelaskan keberadaan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda telah menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dalam hal ini Perda Kabupaten/Kota, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Adapun Pasal 251 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemda memberi kewenangan kepada menteri dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
Lebih lanjut, pembatalan Perda Kabupaten/Kota melalui keputusan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (4) UU Pemda, menurut Mahkamah tidak sesuai dengan rezim peraturan perundang-undangan yang dianut Indonesia. Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UU 12/2011 tidak mengenal keputusan gubernur sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, Mahkamah menegaskan kedudukan keputusan gubernur bukanlah bagian dari rezim peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, menurut Mahkamah terjadi kekeliruan ketika Perda Kabupaten/Kota sebagai produk hukum yang berbentuk peraturan (regeling) dapat dibatalkan dengan keputusan gubernur sebagai produk hukum yang berbentuk keputusan (beschikking).
Perkada Diawasi Gubernur
Sementara, untuk Peraturan Bupati/Walikota atau Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang diatur dalam Pasal 251 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (8), Mahkamah menyatakan UU Pemda sebelumnya, baik UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004, tidak mengatur mengenai pembatalan Perkada dan mekanisme pengajuan keberatan pembatalannya. Dalam perkembangannya, UU Pemda mengatur pembatalan Perkada dan mekanisme pengajuan keberatan pembatalannya yang diatur bersama-sama dengan Perda.
Berdasarkan perkembangan tersebut, menurut Mahkamah pembentuk undang-undang mendudukkan Perkada sebagai keputusan kepala daerah atau disebut juga keputusan tata usaha negara, meski produk hukumnya berupa peraturan bupati/walikota, sehingga mekanisme kontrol oleh pemerintah di atasnya dapat dilakukan dan bukan merupakan hal yang bertentangan dengan UUD 1945. Mekanisme kontrol pemerintahan di atasnya adalah lingkup fungsi administrasi negara (bestuursfunctie).
Dengan demikian, pengaturan pembatalan Perkada, dalam hal ini peraturan bupati/walikota dalam Pasal 251 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (8) UU Pemda, menurut Mahkamah, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pendapat Berbeda
Terhadap putusan sepanjang mengenai Perda Kabupaten/Kota, terdapat empat Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, dan Manahan MP Sitompul yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinions). "Khusus terhadap dalil para Pemohon dalam pengujian Pasal 251 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), kami berpendapat bahwa norma UU Pemda tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945," seperti dibacakan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Menurutnya, Indonesia adalah negara kesatuan dan pada saat yang sama adalah juga negara hukum. Hal mendasar yang terkandung dari norma Konstitusi adalah prinsip bahwa di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan berlaku satu sistem hukum bagi pemerintah di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. "Sehingga, berbeda halnya dengan di negara federal atau serikat, di negara kesatuan tidak dikenal adanya pembedaan dan pembagian antara sistem hukum federal dan sistem hukum negara bagian," ungkap Palguna.
Oleh karena itu, jelas Palguna, dalam negara kesatuan, seberapapun luasnya otonomi yang diberikan kepada daerah dan betapapun beragamnya kekhususan atau keistimewaan yang diberikan kepada suatu daerah, keluasan atau keistimewaan tersebut tidak boleh dipahami sebagai dasar untuk mengabaikan prinsip satu kesatuan sistem hukum dimaksud sehingga seolah-olah ada dua sistem hukum yang berlaku di NKRI.(NanoTresnaArfana/lul/MK/bh/sya) |