JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) Pemerintahan Daerah dan UU Kekuasaan Kehakiman yang dimohonkan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), BEM FH Universitas Esa Unggul, dan Achmad Saifudin Firdaus yang mewakili Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta, Senin (24/2). Pada sidang kali ini Pemerintah menyampaikan keterangannya terkait permohonan Pemohon yang menggugat kewenangan MK memutus sengketa Pemilukada.
Hadir mewakili Pemerintah/Presiden pada sidang kali ini, yaitu Reydonnyzar Moenek (Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Hukum, Politik, dan Hubungan Antarlembaga). Sebagai pengantar, Reydonnyzar menyampaikan kekuasaan kehakiman pada mulanya hanya dilakukan oleh satu lembaga negara yaitu Mahkamah Agung yang membawahi empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Namun, setelah orde baru berganti dengan orde reformasi, UUD 1945 di-amandemen sesuai kebutuhan dan perkembangan ketatanegaraan yang lebih demokratis untuk lebih menjamin keadilan dan menegakkan prinsip negara hukum.
�Sampai sekarang Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah mengalami empat kali perubahan. Perubahan atau amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dimaksud terutama perubahan ketiga dan keempat ternyata telah membawa dampak yang sangat penting dalam sistem kelembagaan negara, yaitu tidak lagi mengenal adanya lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara seperti sebagaimana kita kenal dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pra amandemen,� jelas Reydonnyzar.
Pascaamandemen, lanjut Reydonnyzar, kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tetapi dilaksanakan menurut ketentuan UUD 1945. Wujud nyata kedaulatan dimaksud di antaranya adalah pemilihan umum, baik untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, maupun untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat yang dilaksanakan menurut undang-undang.
Khusus untuk Pemilukada, sebelumnya memang sebagai bagian dalam rezim penyelengaraan pemerintahan daerah. Namun, setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, pemilihan kepala daerah masuk menjadi rezim Pemilu. Hal tersebut menurut Reydonnyzar, sesuai dengan Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggaraan Pemilu. Kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Pemilu, lanjut Reydonnyzar, berpindah dari Mahkamah Agung (MA) ke MK sesuai Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
�Perubahan penanganan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum atau biasa dikenal dengan PHPU dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi didasari karena putusan sengketa pemilihan kepada daerah oleh Mahkamah Agung di beberapa daerah menuai kontroversi. Sebagai contoh Putusan Sengketa Pilkada Sulawesi Selatan, Pilkada Maluku Utara, dan Pilkada Depok, padahal putusan tersebut seharusnya mencerminkan penyelesaian terakhir sengketa pilkada,� urai Reydonnyza sembari memaparkan contoh konkrit adanya kontroversi hasil penyelesaian Pemilukada oleh MA.
Lebih lanjut, Reydonnyzar mengatakan selama penanganan perkara Pemilukada diselesaikan oleh MA maka harapan akan adanya putusan hukum yang mengikat dan bisa dihormati semua pihak sulit dicapai. Sebab, sifat putusan MA bisa digugat lagi karena prosedur beracara di MA berjenjang dan putusan yang diambil masih memungkinkan dilakukan upaya hukum yang lain. �Hal inilah yang melatarbelakangi agar penyelesaian sengketa Pilkada dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi, sebagaimana sengketa hasil pemilihan umum lainnya,� pungkas Reydonnyzar.
Sebelumnya, Para Pemohon menganggap MK tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Pemilukada. Sebab, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan kewenangan MK hanya menguji undang-undang, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.(Yusti Nurul Agustin/mh/mk/bhc/sya) |