JAKARTA. (BeritaHUKUM.com) � Salah satu pekerjaan rumah Pemerintah di bidang pendidikan adalah peningkatan mutu pendidikan. Melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), upaya peningkatan mutu dipenuhi dengan merintis Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) sebagai salah satu solusi.
Adapun Program SBI berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Nasional, dan dilaksanakan oleh keempat Direktoratnya, yaitu: Direktorat Pembinaan TK dan SD, Direktorat Pembinaan SMP, Direktorat Pembinaan SMA, dan Direktorat Pembinaan SMK.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhammad Nuh, peningkatan mutu pendidikan merupakan target strategis Mendikbud, ditempuh melalui Visi Kemdiknas periode 2010 -2014.
�Kami harapkan pada tahun 2025 nantinya, mayoritas bangsa Indonesia merupakan insan cerdas komprehensif dan kompetitif. Ini pun akan terkait dengan program SBI,� papar Nuh pada BeritaHUKUM.com di Jakarta, Rabu (21/3).
Adapun dasar hukum pendidikan telah diatur melalui UU No. 20/2003 tentang Pendidikan Nasional. Sedangkan program SBI terintegrasi dalam Pasal 50 UU No. 20/2003. Isi Pasal tersebut menepis keraguan publik akan peluang terjadinya diskriminasi. Isi Pasal 50 menyebutkan tentang Sistem Tata Kelola Pendidikan Nasional, sepenuhnya ada dalam tanggung jawab Pemerintah.
Tegas Guna Pengembangan SBI
Meski tidak bertentangan dengan UU Pendidikan Nasional, pemerintah akan bersikap tegas pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang tidak menerima siswa miskin. Berdasarkan UU itu, RSBI harus mengalokasikan 20 persen - 25 persen bagi siswa miskin.
"Nanti kita akan cek, apakah RSBI sudah memenuhi itu? Harusnya tidak demikian," tegas Agus Sartono, Deputi Bidang Pendidikan Kemenko Kesra, Rabu (21/3), di Jakarta.
Menurutnya, RSBI bagian yang terintegral dengan sistem pendidikan nasional sejalan dengan UU No. 20/2003 tentang Pendidikan Nasional. Jadi, RSBI diskriminasi itu tidak benar karena RSBI media sarana untuk memberikan kecakapan lebih.
Menko Kesra, Agung Laksono, menambahkan, tidak ada diskriminasi dalam penyelenggaraan RSBI. Ini sejalan dengan education for all. Terkait penggunaan bahasa Inggris, boleh digunakan dalam proses belajar mengajar, asal bahasa Indonesia tetap digunakan sebagai bahasa pengantar.
"Bahasa Indonesia wajib sebagai bahasa pengantar pendidikan" tegas menteri.
Bagi siswa miskin, pemerintah juga sudah menyediakan program beasiswa untuk SD hingga perguruan tinggi. Jadi tidak ada kastanisasi dalam penyelenggaraan pendidikan.
"Terbukti dari 40 juta siswa miskin, sudah 24 juta siswa yang sudah mendapatkan beasiswa. Sisanya masih dalam proses," tambah Agung. (boy)
|