ACEH, Berita HUKUM - Manager Hukum Lembaga Swadaya Masyarakat Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia (KCBI) Hidayatul Akbar,SH menilai, tindakan Polres Lhokseumawe yang menahan 2 (dua) wartawan atas dugaan tindakan pencemaran nama baik oleh anggota DPR Aceh asal Partai Aceh, AI terlalu tergesa-gesa dan terkesan asal-asalan.
Bagaimana tidak, kedua orang wartawan tersebut disangkakan dengan Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ketentuan pasal 27 ayat 3 yang berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Sedangkan, jelas Hidayat, informasi yang dipublikasikan dengan judul ‘Diduga, Anggota DPR Aceh Booking Beberapa Kamar Hotel Bersama Dua Wanita Cantik, tidak terdapat isi berita yang menuduh, akan tetapi masih bersifat dugaan dan telah diakui sendiri oleh pelapor dalam keterangan persnya kepada salah satu media online pada tanggal 4 Mei 2015, bahwa benar dia pada tanggal 22 s/d 25 April 2015 berada di hotel tersebut dan menyewa beberapa kamar dan pelapor juga telah mengakui bahwa, dia benar bersama dua wanita yang merupakan staf komisi I DPRA dan salah satunya merupakan keponakannya, jadi dimana letak pencemaran nama baiknya?
Hidayat menduga, sepertinya penyidik telah salah menerapkan turunan perundang-undangan dengan memasukkan pertimbangan surat edaran (SE) Dewan Pers Nomor 01/SE-DP/I/2014 tentang pelaksanaan Undang-Undang pers dan standar perusahaan pers bahwa, setiap perusahaan pers sesuai pasal 9 ayat 2 UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers haruslah memiliki badan hukum Indonesia. Badan hukum yang dimaksud adalah berbentuk Perseroan Terbatas dengan Surat Edaran tersebut penyidik dapat menjerat kedua wartawan tersebut dengan unsur “TANPA HAK ” UU ITE Pasal 27 ayat 3 karena wartawan tersebut bernaung di bawah media yang berbadan hukum CV, sedangkan Surat Edaran tersebut jelas-jelas pedoman pelaksanaannya UU Pers bukanlah UU ITE dan penyidik juga mengabaikan dasar konstitusi yang jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28F ‘bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
”Seharusnya dalam pemeriksaan kasus ini penyidik juga harus meminta pendapat ahli hukum jangan hanya meminta pendapat dewan pers dan ahli IT agar tidak salah-salah dalam menetapkan delik hukum,” kata Hidayat, Minggu (6/9).(bh/sul) |