Oleh: Atisa Praharini, SH, MH
DEWAN Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) saat ini kembali memasuki masa persidangan yang merupakan akhir masa bakti anggota DPR RI periode 2009-2014. Salah satu pekerjaan rumah (PR) di bidang legislasi yang sedang dibahas yakni Rancangan Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal (RUU tentang JPH).
Saat ini RUU tentang JPH berada dalam tahap pembahasan tingkat I antara Komisi VIII DPR RI dan pemerintah. Pembahasan RUU tentang JPH telah memakan waktu sekitar dua periode keanggotan DPR RI .
Beberapa subtansi dalam RUU tentang JPH memang kompleks karena satu sama lain saling berkaitan dan menyangkut beberapa pemangku kepentingan antara lain Kementerian Agama, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Usaha Kecil dan Menegah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) termasuk di dalamnya Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI), pelaku usaha, serta lembaga-lembaga sertifikasi halal. Dengan demikian, penuangan suatu konsep menjadi rumusan pengaturan dalam RUU tentang JPH harus mempertimbangkan berbagai implikasi dan konsekuensinya.
Sifat Pengaturan
Dalam merumuskan sifat pengaturan pengajuan permohonan sertifikat halal, perlu mempertimbangkan berbagai hal, seperti apakah pelaku usaha diwajibkan mengajukan permohonan sertifikat halal, atau pelaku usaha diberi kebebasan (sukarela) dalam mengajukan permohonan sertifikat halal?
Apabila pelaku usaha diwajibkan mengajukan permohonan sertifikat halal, harus dicermati kepada pelaku usaha mana saja kewajiban tersebut akan diberlakukan, apakah kepada seluruh pelaku usaha (mikro, kecil, menengah, dan besar) atau terbatas pada pelaku usaha tertentu? Bagaimana dengan pelaku usaha yang berlokasi jauh dari tempat pengajuan sertifikat halal? Apakah pelaku usaha tertentu dapat memperoleh keringanan biaya dalam pengajuan permohonan sertifikat halal? Dari mana keringanan biaya itu dapat diperoleh, apakah melalui fasilitasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, atau melalui tanggung jawab sosial perusahaan, atau bahkan melalui peran serta masyarakat yang membantu pelaku usaha mengajukan permohonan sertifikat halal?
Kewenangan Sertifikasi
Materi lain dalam RUU tentang JPH yang memiliki kompleksitas tinggi adalah kepada siapa pelaku usaha mengajukan permohonan sertifikat halal? Apakah pelaku usaha mengajukan permohonan ke Kementerian Agama, atau ke MUI dalam hal ini LP POM MUI seperti yang telah berjalan selama dua puluh lima tahun (beritahukum.com, 4 Juni 2014), atau dapat diajukan ke lembaga sertifiikasi halal yang lain? Saat ini ada beberapa lembaga sertifikasi halal selain LPPOM MUI, seperti Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU) dan Lembaga Sertifikasi Halal Ikatan Alumni Santri Sidogiri (IASS) (www.nu.or.id, 26 Mei 2014).
Rumusan pengaturan mengenai pengajuan permohonan sertifikat perlu mempertimbangkan berbagai hal sebagai berikut. Apabila permohonan diajukan ke Kementerian Agama, apakah Kementerian Agama berarti berwenang melakukan serangkaian proses mulai dari menerima permohonan, memeriksa produk, menetapkan fatwa (diserahkan ke MUI), dan menerbitkan sertifikat halal? Apabila demikian, bagaimana kesiapan sumber daya manusia, sarana, dan prasarana Kementerian Agama sampai dengan kantor wilayah Kementerian Agama di daerah untuk melaksanakan serangkaian proses tersebut secara optimal? Pertanyaan lain, apakah setelah Kementerian Agama menerima permohonan, Kementerian Agama dapat menugaskan pemeriksaan kepada lembaga pemeriksa halal? Apakah mungkin pelaku usaha dapat memilih lembaga pemeriksa halal yang dikehendaki?
Alternatif lain, apabila serangkaian proses sertifikasi mulai dari menerima permohonan, memeriksa produk, menetapkan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal menjadi wewenang MUI, bagaimana kedudukan lembaga sertifikasi halal yang lain? Lalu, apa saja yang menjadi tugas pemerintah ketika pemerintah tidak melaksanakan serangkaian proses sertifikasi, apakah tugas pemerintah terbatas pada pembinaan, sosialisasi, edukasi, dan pengawasan?
Jenis Produk
Untuk merumuskan jenis produk apa saja yang dapat dimohonkan sertifikat halalnya, juga membutuhkan pertimbangan cermat . Apakah hanya terbatas pada produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika, atau mencakup barang gunaan lain yang jumlahnya sangat banyak?
Penyelesaian Segera
Kehadiran beberapa lembaga sertifikasi halal yang melaksanakan serangkaian proses sertifikasi mulai dari menerima permohonan, memeriksa produk, menetapkan fatwa, sampai dengan menerbitkan sertifikat halal akan kontradiktif dengan peraturan yang mengatur secara implisit bahwa hanya lembaga sertifikasi halal tertentu yang berwenang melaksanakan sertifikasi. Misalnya, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 158 Tahun 2013 tentang Tata Cara Sertifikasi Halal Restoran dan Non Restoran, sertifikasi halal dilaksanakan oleh LPPOM MUI bersama LPPOM MUI Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Peraturan tersebut tidak membuka sertifikasi halal oleh lembaga sertifikasi halal yang lain.
Dari hal tersebut, muncul berbagai pertanyaan: bagaimana dengan pelaku usaha yang produknya mendapat sertifikat halal selain dari LPPOM MUI pusat dan LPPOM MUI daerah? Apakah sertifikat halal dari semua lembaga pemeriksa halal, diakui? Apakah sertifikat dan logo/label halal dari semua lembaga pemeriksa halal memiliki kekuatan hukum yang sama? Bagaimana apabila setiap lembaga sertifikasi halal memiliki standar prosedur pemeriksaan dan penentuan kehalalan produk yang berbeda-beda? Bagaimana jika bentuk logo/label halal antara satu produk dengan produk lainnya berbeda-beda karena bentuk logo/label ditetapkan oleh masing-masing lembaga sertifikasi halal? Apakah untuk satu produk, pelaku usaha perlu mengajukan permohonan ke beberapa lembaga sertifikasi halal? Apakah pelaku usaha bebas memilih di antara beberapa lembaga sertifikasi halal yang ada? Permasalahan tersebut harus segera diselesaikan melalui RUU tentang JPH demi menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha dan konsumen.
Permasalahan lain yang perlu diselesaikan oleh RUU tentang JPH adalah bentuk pernyataan halal yang dibuat sendiri oleh pelaku usaha (bukan berdasarkan sertifikat halal dari lembaga sertifikasi halal). Saat ini, masih ditemukan pernyataan tersebut pada produk dan restoran. Ada pelaku usaha yang menuliskan “halal”, “ditanggung halal”, atau “no pork”. Lantas bagaimana jaminan kehalalan dan keberlakuan pernyataan tersebut? Sedangkan untuk sertifikat halal yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi halal memiliki masa berlaku dan harus diperbaharui demi menjaga kehalalan produk.
RUU tentang JPH juga perlu segera diselesaikan mengingat pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2015 mendatang yang akan membuka dan mempermudah perdagangan antar negara ASEAN. Produk bersertifikat halal yang diekspor akan bersaing di luar negeri, sebaliknya Indonesia akan mengalami serbuan produk impor. RUU tentang JPH dibutuhkan untuk menjamin produk ekspor yang bersertifikat halal diakui sertifikat kehalalannya, mempererat kerja sama antar lembaga sertifikat halal di dalam dan luar negeri, serta mengantisipasi banjirnya produk impor yang belum jelas kehalalannya.
Harapan
Dengan rentang waktu yang tersisa hanya beberapa minggu dari berakhirnya masa bakti anggota DPR RI periode 2009-2014, anggotaDPR RI dan pemerintah harus berusaha ekstra keras untuk menuntaskan RUU JPH. Sikap optimis untuk menyelesaikan RUU tersebut harus terus dibangun dengan beberapa harapan yang menyertainya, antara lain RUU tentang JPH diharapkan dapat menyelaraskan berbagai kepentingan antar pemangku kepentingan terkait. Tugas dan wewenang masing-masing pemangku kepentingan baik di tingkat pusat maupun daerah harus diatur dengan jelas, sehingga tergambar siapa melakukan apa. Begitu pula pentingnya pengaturan mengenai bentuk koordinasi atau kerjasama antar pemangku kepentingan.
Selanjutnya, RUU tentang JPH harus menjamin kepastian hukum. Perlu ada pengaturan dalam RUU tentang JPH yang menjebatani antara lembaga pemeriksa halal yang telah berjalan sebelumnya dengan kehadiran beberapa lembaga pemeriksa halal yang baru agar tidak menimbulkan kebingungan bagi masyarakat selaku konsumen produk halal dan pelaku usaha selaku produsen.
RUU tentang JPH diharapkan akan mendorong pelaku usaha untuk senantiasa melindungi konsumen. Pengaturan dalam RUU tentang JPH perlu diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran pelaku usaha bahwa sertikat halal dan logo/label halal pada setiap produk akan memberikan nilai tambah bagi pelaku usaha. Terlebih lagi saat ini telah dicanangkan gerakan “konsumen cerdas” sehingga konsumen akan lebih jeli memilih produk yang terjamin kehalalannya. Dorongan kepada pelaku usaha tersebut harus diberikan dalam bentuk pengaturan pengajuan permohonan sertifikat halal yang tidak mempersulit pelaku usaha. Apresiasi juga dapat diberikan kepada pelaku usaha yang konsisten menjaga kehalalan produknya.
RUU tentang JPH juga harus mengatur mengenai jeda waktu untuk menyiapkan perangkat pendukung demi terwujudnya sistem jaminan halal komprehensif. Perangkat pendukung tersebut meliputi sumber daya manusia seperti auditor halal di lembaga pemeriksa halal dan penyelia halal di tempat produksi; sarana dan prasarana seperti laboratorium dan kesiapan material lainnya hingga ke pelosok negeri; dan anggaran yang mencukupi untuk mendukung operasional sertifikasi halal.
Dengan kondisi yang telah diuraikan sebelumnya, akankah penantian dan harapan hadirnya UU tentang JPH dapat terwujud? Jawabannya tergantung apakah para wakil rakyat bersama pemerintah dapat mencari jalan tengah atau win win solution dengan cepat dan cermat dari permasalahan yang ada dalam waktu yang tersisa ini. Dengan hadirnya UU tentang JPH, kepercayaan masyarakat khususnya umat muslim dalam mengkonsumsi produk yang beredar di Indonesia akan semakin tinggi. Hal ini berarti dunia usaha akan lebih bergairah dan para pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk melakukan sertifikasi halal.(ap/bhc/sya)
*Penulis adalah Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang Bidang Kesra, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Pembahasan RUU yang diikuti antara lain RUU tentang Jaminan Produk Halal (sedang berjalan), RUU tentang Cagar Budaya (2010), dan RUU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (2009).
|