Oleh: Laily Fitriani, SH., MH .
TERBONGKARNYA kasus penelantaran dan penyiksaan terhadap anak oleh orang tua di Perumahan Citra Grand, Cibubur yang baru saja terjadi tentu sangat mengejutkan. Karena orang tua yang seharusnya sebagai pelindung bagi anak tetapi malah menelantarkan dan diduga melakukan kekerasan terhadap anak.
Konflik kekerasan dalam rumah tangga tidak selalu terjadi pada lingkungan keluarga kurang mampu, Dalam hal ini D anak yang berusia delapan tahun berasal dari keluarga yang berada atau berkecukupan. Selain itu dia diasingkan dan dipaksa menggelandang dan kelaparan. Kemudian dia juga diduga kerap mendapatkan perlakuan kekerasan dari orang tuanya, hal itu dibuktikan dengan banyaknya luka lebam ditubuh D. Selain itu ada 4 orang anak lagi yang ditelantarkan dan dikurung dalam rumah.
Sebenarnya faktor apa yang membuat orang tua melakukan penganiayaan? Hal ini bisa terjadi karena orang tua tidak dapat mengendalikan emosinya, mengalami masalah psikis, atau juga bisa merupakan pecandu alkohol/narkoba.
Saat ini aparat penegak hukum masih melakukan investigasi terkait kasus ini. Selain itu subdirektorat Kejahatan dan Kekerasan Direktorat Reseserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya bersama dengan KPAI serta Kementerian Sosial menyelamatkan kelima anak tersebut yang diduga menjadi korban kekerasan orang tuanya.
Jenis kekerasan terhadap anak menurut WHO yaitu: (Nahuda, Gino Pranomo et all: 2007)
a. Kekerasan fisik adalah tindakan yang menyebabkan sakit atau potensi menyebabkan sakit yang dilakukan oleh orang lain, dapat terjadi sekali atau berulangkali, kekerasan fisik dapat berupa: dipukul, ditendang, dijewer, dicubit, dilempar benda keras, dijemur dibawah terik sinar matahari, dll;
b. Kekerasan seksual adalah keterlibatan anak dalam kegiatan seksual yang tidak dipahaminyanya kekerasan seksual ini dapat juga berupa: perlakuan tidak senonoh dari orang lain, kegiatan yang menjurus kepada pornografi, perkataan porno dn tindakan pelecehan organ seksual anak, perbuatan cabul dan persetubuhan pada anak-anak yang dilakukan oleh orang lain dengan tanpa tanggung jawab, tindakan mendorong atau memaksa anak terlibat dalam kegiatan seksual yang melanggar hukum seperti dilibatkannya anak pada kegiatan prostitusi.
c. Kekerasan emosional adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan emosional anak, berupa kata-kata yang mengancam, menakut-nakuti, berkata kasar, mengolok-olok, perlakuan diskriminatif dari orang tua, keluarga, pendidik, dan masyarakat, membatasi kegiatan sosial dan kreasi anak pada teman dan lingkungannya.
d. Tindakan Pengabaian dan penelantaran adalah ketidakpedulian orang tua atau orang yang bertanggungjawab atas anak pada kebutuhan mereka, seperti: pengabaian pada kesehatan anak, pengabaian dan penelantaran pada pendidikan anak, pengabaian pada pengembangan emosi (terlalu dikekang), penelantaran pemenuhan gizi, penelantaran pada penyediaan perumahan, pengabaian pada konsisi keamanan dan kenyamanan
e. kekerasan ekonomi (eksploitasi komersial) adalah penggunaan tenaga anak untuk bekerja dan kegiatan lainnya demi keuntungan orang tuanya atau orang lain seperti: menyuruh anak bekerja secara berlebihan, menjerumuskan anak pada dunia prostitusi untuk kepentingan ekonomi.
Kenakalan anak adalah hal yang sering menjadi penyebab kemarahan orang tua sehingga anak mendapat hukuman dan jika disertai dengan emosi, orang tua tidak segan untuk memukul atau melakukan kekerasan fisik, atau berkata kasar kepada anaknya.
Definisi anak
Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut Pasal 1 konvensi Hak Anak menyatakan anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Sedangkan pengertian perlindungan anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pengakuan perlindungan anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pengakuan mengenai perlindungan anak terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28A yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Selanjutnya Pasal 28B ayat 2 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Berdasarkan ketentuan tersebut maka tidak bisa ditolerir bila ada orang siapapun itu baik orang tua ataupun orang lain untuk menelantarkan apalagi melakukan kekerasan terhadap anak.
Perlindungan Anak berdasarkan Konvensi Hak Anak
Berdasarkan Konvensi Hak Anak, ada empat prinsip umum perlindungan anak yang menjadi dasar bagi setiap negara dalam menyelenggarakan perlindungan anak antara lain: prinsip non diskriminasi artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam konvensi Hak Anak harus berlaku kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun, prinsip kepentingan terbaik bagi anak (Best interest of child) yang mengingatkan kepada penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa apalagi berpusat pada kepentingan orang dewasa, apa yang menurut orang dewasa baik belum tentu baik menurut ukuran kepentingan anak (M. Nasir Djamil: 2013).
Prinsip selanjutnya adalah prinsip hak kelangsungan hidup dan perkembangan yang berarti negara harus memastikan setiap anak terjamin kepastian hidupnya, karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat pada dirinya, selanjutnya prinsip penghargaan terhadap pendapat anak ( respect for the views of the child), prinsip ini menegaskan bahwa anak memiliki otonomi dan kepribadian oleh karena itu tidak bisa hanya dipandang dalam posisi yang lemah, menerima, dan pasif, tetapi sesungguhnya dia pribadi otonom yenag memiliki pemahaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang dewasa.
Pengaturan Penelantaran dan Kekerasan terhadap Anak dalam KUHP
Penelantaran anak dalam pengaturan Pasal 304 KUHP disebutkan bahwa Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Sedangkan jika anaknya belum berusia tujuh anak tersebut ditelantarkan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Kemudian jika mengakibatkan luka berat yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun enam bulan. Apabila mengakibatkan kematian pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pemberatan hukuman dengan penambahan sepertiga jika dilakukan oleh bapak atau ibu dari anak tersebut.
Kemudian dalam Pasal 351 KUHP juga mengatur mengenai penganiayaan yang diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, Tetapi jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Apabila menyebabkan kematian maka diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Selanjutnya penganiayaan yang dengan direncanakan terlebih dahulu dalam Pasal 353, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Jika mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Apabila perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Lain halnya jika melakukan penganiayaan berat dikenakan pidana penjara paling lama delapan tahun. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
Penganiayan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pidana ini dapat ditambah sepertiga jika yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya.
Pengaturan Penelantaran dan Kekerasan terhadap Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Undang-Undang Perlindungan Anak).
Konsiderans Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Anak juga menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sehingga Orang tua tidak dapat menelantarkan dan bertindak sewenang-wenang terhadap anak apalagi melakukan kekerasan. Hal tersebut juga dikuatkan dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
Jika perlakuan tersebut dilakukan oleh orang tua, wali atau pengasuh anak, maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak juga menjabarkan kewajiban orang tua dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;
b. menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan
d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.
Kewajiban dan tanggung jawab tersebut harus dilaksanakan. Jika orang tua tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab tersebut maka sesuai ketentuan Pasal 33, seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai Wali dari Anak yang bersangkutan melalui penetapan pengadilan.
Mengenai larangan tindakan penelantaran terhadap anak tercantum dalam Pasal 76B yang menyatakan Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran. Terhadap pelanggaran ketentuan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 77B dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Selanjutnya terhadap tindakan kekerasan terhadap anak berlaku ketentuan Pasal 76C yang menyatakan Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak. Jika melanggar ketentuan tersebut maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Jika mengakibatkan terjadinya luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Selanjutnya apabila mengakibatkan kematian anak maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan tersebut apabila yang melakukan penganiayaan tersebut adalah Orang tuanya.
Pengaturan Penelantaran dan Kekerasan terhadap Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Undang-Undang PKDRT)
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang PKDRT menyatakan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1), anak termasuk dalam lingkup rumah tangga. Selanjutnya bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga terdapat dalam Pasal 5 yaitu:
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga
Penelantaran dalam Pasal 9 adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Ancaman pidana terhadap ketentuan ini adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Dalam hal ini penelantaran terhadap anak termasuk dalam ketentuan Pasal ini.
Kemudian jika seseorang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sesuai ketentuan Pasal 44 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Apabila mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Selanjutnya jika mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Kasus penelantaran dan kekerasan terhadap anak ini seharusnya tidak boleh terjadi, anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa seharusnya dilindungi dan di jaga serta diberikan kasih sayang. Didikan orang tua sangat diperlukan untuk masa depan anak karena orang tua merupakan panutan bagi anak. Penelantaran dan kekerasan hanya akan membuat penderitaan dan kesengsaraan bagi anak.
Dengan adanya pengaturan yang lengkap tentang larangan penelantaran dan kekerasan terhadap anak diharapkan bisa menjerat pelaku penelantaran dan kekerasan terhadap anak.
Semoga di masa yang akan datang tidak ada lagi penelantaran dan kekerasan terhadap anak.
Penulis adalah Perancang Muda Setjen DPRRI. Pendidikan S1 hukum Universitas Sumatera Utara, S2 Hukum Universitas Indonesia, sedang menjalani S3 hukum di Universitas Indonesia.(lf/bh/sya)
|