JAKARTA, Berita HUKUM - Ada perpecahan di tubuh lembaga Komisi Yudisial (KY) pasca pemilihan Ketua untuk periode Juli 2013 sampai dengan Desember 2015.
Hal itulah, yang diungkapkan salah satu Komisioner KY, Taufiqurrahman Syahuri. Dimana, dirinya membeberkan adanya perpecahan diantara ketujuh komisioner.
Hal ini karena ada motif sakit hati lantaran ia tidak terpilih menjadi ketua KY sesuai kesepakatan sebelum pemilihan.
Menurut pengamat hukum dari UII, Muzakir bocornya informasi tersebut. Bisa memberikan pencerahaan agar tidak memilih calon komisioner yang berambisi jabatan.
"Saya kira ini jadi informasi, jangan sampai memilih calon komisioner yang berambisi jabatan," katanya saat dihubungi wartawan di Jakarta, Jumat (28/6).
Muzakir mengatakan, oknum yang mengatur suatu pemilihan untuk jabatan tertentu harusnya dieliminasi sejak awal. Sebab, perbuatannya sudah tidak berorientasi pada pengabdian, sebaliknya struktural.
Untuk itulah, dirinya berpendapat bahwa parlemen sebagai lembaga yang menguji komisioner prilaku hakim tersebut. Harus berevaluasi. "Lembaga negara itu (red.KY) penyelenggara negara, bukan pejabat negara," ungkapnya.
Dalam hal ini, Muzakir juga menyayangkan adanya kesepakatan dalam proses pemilihan ketua KY periode 2013-2015 yang justru berujung pada perpecahan antar komisioner KY sendiri.
Hal ini lantas memperlihatkan bahwa pelanggar kesepakatan kemudian dicap tidak etis, padahal kesepakatan itu sendiri telah melanggar pemilihan yang jujur dan adil.
"Sebut saja reaksi yang tidak perlu dibawa ke ranah hukum dan tidak perlu dijadikan perpecahan," kata Muzakir.
Seperti diketahui, pasca
para komisioner KY mencari pengganti Eman Suparman. Lembaga pengawas kode etik Hakim tersebut dikabarkan menyisakan polemik dan menuai ketidaksenangan.
Proses pemilihan yang digelar pada Selasa (18/6) lalu dinilai tidak etis dan penuh permainan.
Pernyataan ini disampaikan oleh Komisioner Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurrahman Syahuri. Menurut dia, mekanisme pemilihan yang dipakai mirip dengan pemilihan jabatan politis.
"Cara-cara yang biasanya dilakukan di dunia politik dan dianggap lumrah, saling sikut, tidak sepatutnya diikuti KY," ujar Taufiq di Jakarta, Kamis (27/6).
Dia mengatakan, sebelum pemilihan digelar telah terjadi pertemuan antara empat orang komisioner yang terdiri atas dirinya sendiri, Imam Anshori Saleh, Suparman Marzuki dan Eman Suparman sekitar Desember 2010 di Hotel Acacia. Pertemuan itu diadakan sehari sebelum pemilihan pimpinan KY periode pertama yaitu Desember 2010 hingga Juni 2013 digelar.
"Dalam pertemuan tersebut, kami berempat bersepakat secara lisan untuk bergiliran memimpin KY. Diadakanlah pemilihan sekaligus pada waktu itu untuk menentukan pimpinan KY sekaligus dua periode. Untuk periode pertama ditentukan ketua Eman Suparman dan wakil Imam Anshori Saleh dan periode kedua ditentukan ketua saya dan wakil Suparman Marzuki ," ungkap Taufiq.
Tetapi, kesepakatan itu terbantah saat pemilihan pimpinan periode kedua. Dalam pemilihan itu, nama Suparman Marzuki muncul sebagai ketua dengan wakil Abbas Said.
"Giliran pada saat pemilihan resmi periode kedua Juni 2013, ternyata dua orang ingkar janji. Imam yang sudah menikmati jabatan wakil buah dari perjanjian ternyata tidak memenuhi janjinya. Demikian juga dengan Suparman Marzuki tidak memenuhi janjinya dengan cara loncat pagar diam-diam ke grup tiga sehingga dapat suara mayoritas, yakni empat suara. Hanya saya dan Eman Suparman yang tetap setia dengan perjanjian 2,5 tahun lalu," kata Taufiq.
Atas hal itu, Taufiq kemudian menyebut pengingkaran kedua orang yang dimaksud sebagai sikap yang tidak etis dan bertentangan dengan ruh KY sebagai lembaga etik.
"Ini adalah politik yang tidak etis. KY bukan lembaga politik, KY adalah penegak etik, maka sudah semestinya cara yang digunakan KU termasuk dalam cara memilih pemimpinnya harus tetap berpegang pada cara-cara yang etis," papar Taufiq.(bhc/riz) |