JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Munculnya sejumlah kasus kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian sepanjang 2011, telah membuktikan kegagalan kinerja Kapolri Jenderal Pol. Timur Pradopo. Demi kebaikan rakyat dan menjaga keselamatan negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera menggantinya dengan sosok yang dianggap mampu mengemban tugas berat tersebut.
"Demi kebaikan rakyat dan keselamatan negara, Presiden sudah selayaknya segera mengganti Kapolri Timur Pradopo dengan figur lain yang kriteria memenuhi tantangan zaman yang ada saat ini. Jika tidak segera diganti, dapat membahayakan kondisi negara dan pemerintahan," kata anggota Komisi III DPR Ahmad Basarah kepada wartawan, Jumat (30/12).
Menurut dia, posisi politik bahwa Polri di bawah tanggung jawab langsung Presiden saat ini, merupakan posisi terbaik. Hanya saja leadership Kapolri yang tidak mampu memimpin kepolisian untuk mengikuti perkembangan dinamika sosial politik masyarakat Indonesia. "Tidak hanya sekedar memimpin Polri, tapi diperlukan sosok yang visioner, trengginas, memiliki sense of crisis dan yang paling penting mampu berperan sebagai problem solver," imbuh politisi PDIP tersebut.
Kepolisian, lanjut dia, di bawah kepemimpinan Timur Pradopo terlihat mengalami penurunan kualitas, profesionalisme dan kepekaan sosial serta politik dalam mencermati gelagat dan dinamika yang semakin meningkat akhir-akhir ini. Dikhawatirkan peran Polri mengatasi konflik di masyarakat akan hilang. "Saya khawatir negara akan kehilangan perannya untuk hadir menengarai setiap potensi konflik yang terus bermunculan di tengah masyarakat,” papar Basarah.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Aboe Bakar Al Habsyi menyatakan rasa tidak puasnya hasil penyelidikan Polri terkait bentrokan di Bima, NTB. Sebab, meski telah menetapkan tiga orang anggotanya sebagai terperiksa (tersangka) dalam bentrokan tersebut, Polri diyakini tak akan mendalami sampai unsur pidana terhadap perwiranya yang justru paling bertanggung jawab.
"Saya kira ini perkembangan tidak menarik, setiap terjadi insiden yang melibatkan polisi selalu saja yang dilakukan adalah pemeriksaan disiplin. Bila status mereka terperiksa, berarti nanti sanksinya sebatas sanksi disiplin saja. Sama sekali tidak mengarah pada proses pidana seperti dalam KUHAP," jelas dia.
Aboe Bakar berharap langkah penetapan status terperiksa ini, bukan sebagai upaya Polri melindungi anggota dari unsur pelanggaran HAM dalam bentrokan di Bima, NTB. Alasannya, kepercayaan publik terhadap Polri sudah mulai redup sehingga Polri harus kembali mengembangkan kepercayaan itu dengan langkah-langkah yang lebih konkret.
Sedangkan untuk menanggulangi aksi unjuk rasa, papar dia, petugas tidak melakukannya sesuai dengan standar penanganan yang berlaku. Polri kerap enggan menggunakan water canon. Bahkan, ketika sudah menangkap pelaku kerusahan, oknum polisi masih saja memukuli masyarakat yang ditangkap.
“Ada juga korban ditembak dari jarak dekat dan yang sudah lari menyelamatkan diri, masih pula ditembaki. Jika seperti ini, mereka itu mau membunuhi rakyat atau meredam aksi unjuk rasa. Polri kerap memperlakukan rakyat seperti musuh besar saja. Polisi juga kerap membela pemilik modal ketimbang melindungi rakyat,” tandas Aboe Bakar.(inc/rob)
|