JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dengan agenda mendengarkan keterangan perwakilan pemuka agama pada Selasa (24/11), di ruang sidang Pleno MK. Demi menjunjung tinggi asas keadilan dan persamaan di mata hukum, kali ini MK mengundang tiga kelompok agama untuk mengutarakan pendapat masing-masing dalam pengujian perkara ini.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat, perwakilan dari Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN), memberikan pandangan berbeda terkait ketentuan perkawinan beda agama yang digugat oleh mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Mendukung opini dari Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) yang telah disampaikan pada sidang sebelumnya, perwakilan KWI, Romo Purbo Tantomo, menyampaikan bahwa perkawinan sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia yang berjalan dinamis. “Perkawinan dilangsungkan untuk meraih kebahagiaan dan siapapun kita tidak berhak untuk melawan kehendak Tuhan. Secara khusus negara bertugas dalam memberikan perlindungan dalam keputusan individu untuk hidup secara berdampingan,” tukas Romo Purbo.
Menurut Romo Purbo, Negara tidak boleh mempersempit dan menghalang-halangi individu yang hendak mencari kebahagiaan karena hal tersebut sama saja dengan membatasi penghargaan terhadap hak asasi manusia dan secara kenegaraan mengikis nilai-nilai Pancasila. “Negara bertanggung jawab melindungi perkawinan dan keluarga, namun pada kenyataanya Pasal 2 Ayat 1 ketentuan tersebut banyak menyulitkan pasangan-pasangan yang ingin menikah,” ujar Romo Purbo.
Menurutnya, akibat-akibat yang ditimbulkan dari berlakunya ketentuan a quo banyak menimbulkan akibat yang negatif. Kesulitan pencatatan sipil dan seseorang yang kemudian mengorbankan keimanannya adalah implikasi langsung dari aturan yang menghalangi perkawinan beda agama tersebut. “Menikah dan keyakinan adalah dua hal yang menyangkut hak pribadi, negara tidak boleh mengganggu atau bahkan membuat seseorang kehilangan salah satu haknya oleh sebab sesuatu hal yang seharusnya tetap bisa berjalan beriringan (menikah dan mempertahankan keyakinan-red),” kata pemuka agama Katolik tersebut.
Secara khusus, Romo Purbo dalam pendapatnya juga mengapresiasi MK karena telah memberikan perhatian dan pelayanan terbaik untuk mengakomodasi kepentingan seluas-luasnya masyarakat Indonesia dalam perkara yang penting ini. MK memberikan ruang bagi semua pihak dengan mengundang dan meminta pendapat dari kelompok-kelompok agama yang secara umum mewakili opini masyarakat dalam perspektif keagamaan.
Hindu Menolak
Sementara itu, I Nengah Dana, mewakili Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), menyatakan bahwa pernikahan beda agama tidak dibenarkan dalam agama Hindu. “Perkawinan harus melalui proses yang disebut Wiwaha Samskara dan adalah peristiwa sakral yang dipimpin oleh Pandita, maka kedua mempelai diharuskan memeluk agama Hindu (beragama sama),” ujar I Nengah Dana.
Menurut Dana, dalam ajaran agama Hindu, calon mempelai harus satu agama. Dana menegaskan., perkawinan yang dilangsungkan oleh dua orang yang memiliki keyakinan agama berbeda, tidak bisa disahkan dan untuk selamanya akan dinyatakan melakukan perbuatan zina. “Dan sebagai konsekuensinya perkawinan tersebut harus dibatalkan,” tambahnya.
Meskipun demikian ia mengakui bahwa ada aturan dalam Hindu terutama di India yang memperbolehkan perkawinan beda agama, namun terbatas hanya untuk agama-agama yang serumpun, seperti Buddha, Jaina, dan Sikh, pengertian ini kemudian diperluas untuk semua sekte Hinduisme di sana. Namun, hal ini di Indonesia tidak dikenal sebagaimana telah diatur dalam tradisi suci yang telah berlangsung selama turun-temurun.
Berada di antara kedua pendapat tersebut, Uung Sendana dari MATAKIN, menyatakan bahwa pernikahan beda agama bukan merupakan persoalan utama, bahkan restu bisa diberikan bagi siapapun yang sudah terlanjur melangsungkan perkawinan.
“Pernikahan dilakukan atas dasar kebahagiaan dan meneruskan keturunan. Perbedaan politis, etnis, kepahaman, budaya, bahkan agama tidak bisa menghalangi adanya perkawinan,” ujar pria yang juga merupakan wakil ketua umum MATAKIN ini.
Namun demikian ia mengakui bahwa perkawinan beda agama tidak bisa dilaksanakan melalui upacara khusus yang diakui oleh agama Konghucu.(Winandriyo Kun/mk/bhc/sya) |