JAKARTA, Berita HUKUM - Dewan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama ini masih mencermati masalah-masalah bangsa terkait dengan kerukunan umat beragama yang akhir-akhir ini terjadi di tanah air Indonesia, termasuk di dalamnya penanganan kasus kerusuhan 'Tragedi Tolikara Papua', Kasus pembakaran gereja' dan maupun Undung-undung di Aceh Singkil, hingga masalah Peraturan Bersama Menteri (PBM) mengenai pendirian rumah ibadah, serta kebutuhan adanya Undang-undang mengenai kerukunan antar umat beragama.
Turut hadir dalam jumpa pers MUI pada, Kamis, (22/10) di Jakarta ini adalah Dr. H Yusnan Yusuf MS sebagai Ketua MUI Bidang Hukum, Najmuddin Ramli, Dr. H Amirsyah Tambunan, Rofiq Hairul Umam Ahmad SH, MH sebagai Wasekjen Kumham MUI, serta Abdul Kholiq sebagai Komisi Hukum MUI.
Terkait kasus itu, berikut semua masalah tersebut, maka MUI menyatakan sikapnya sebagai berikut, yakni:
Pertama (1), Penegakan hukum terhadap pelaku dan aktor intelektual Tragedi Tolikara sampai saat ini belum dilaksanakan secara optimal dan memenuhi rasa keadilan, serta harapan masyarakat, terutama para warga muslim Tolikara.
Saat ini hanya terdapat 2 orang dari pelaku teror jamaah Kristen dari organisasi GIDI yang dijadikan tersangka, dan itupun kini berada dalam status tahanan kota. Sampai saat ini tidak ada penambahan tersangka, padahal jamaah GIDI yang menyerang jamaah sholat Idul Fitri dan membakar Masjid, Kios dan rumah penduduk berjumlah ratusan orang. Demikian pula tidak ada satu terduga aktor intelektual yang ditangkap oleh pihak Kepolisian. Rentang waktu juga sudah lebih dari 100 hari, namun penegakan hukum oleh pihak Kepolisian Tolikara dan Polda Papua terhadap tragedi Tolikara sangatlah lambat dan kurang transparan, serta sangat mengecewakan umat Islam Indonesia.
Kedua (2). Pernyataan Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan dalam wawancara di sebuah majalah berita (Majalah Tempo Edisi 19-25 Oktober 2015 pada halaman 102) yang menyatakan. "Seperti kasus kerusuhan di Tolikara, Papua itu sudah selesai". Pernyataan tersebut terburu-buru dan tidak sesuai dengan fakta, tidak benar dan diskriminatif.
Ketiga (3). Penanganan yang berbeda dan tidak adil adalah ketika aparat penegak hukum secara cepat menangkap umat Islam warga Aceh Singkil dalam jumlah yang cukup banyak yang diduga terlibat dalam kasus pembakaran Gereja dan Undung-undung di Aceh Singkil. Penanganan kasus Aceh Singkil oleh Kepolisian dan Pemerintah di fokuskan kepada penegakan hukum terhadap mereka yang diduga melakukan pembakaran Gereja ilegal, tapi tidak menangkap akar permasalahan sebenarnya, agar dicapai solusi permanen yang kokoh dalam jangka panjang.
Keempat (4). Pembakaran Gereja di Aceh Singkil oleh sekelompok umat Islam setempat merupakan reaksi terhadap aksi yang sudah ada sebelumnya, yang dilakukan sekelompok warga Kristen yang telah membangun beberapa Gereja dan Undung-undung secara ilegal. Hal dimaksud karena melanggar berbagai kesepakatan bersama antara tokoh Islam dan Kristen setempat, serta melanggar PBM Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 mengenai kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah. Sumber dan akar masalahnya adalah berdirinya Gereja-gereja dan Undung-undung yang ilegal.
Kelima (5). Pemerintah kabupaten Aceh Singkil dan Kepolisian serta Lembaga Pemerintah setempat tidak tanggap dan lambat dalam menangani dan menyelesaikan masalah berdirinya Gereja dan Undung-undung ilegal yang melanggar kesepakatan bersama dan PBM tersebut. Akibatnya, masalah menjadi terkatung-katung dan menimbulkan eskalasi kekecewaan dan keresahan di kalangan sebagian umat Islam, yang pada puncaknya berwujud peristiwa pembakaran Ggereja ilegal yang memang seharusnya tidak boleh dilakukan.
Keenam (6). Paradoks penanganan tragedi Tolikara dan Aceh Singkil tersebut sungguh sangat memprihatinkan, karena kondisi tersebut membuktikan tidak adanya perlindungan terhadap setiap warga negara dan komponen bangsa yang dirugikan oleh Negara. Disisi lain, kondisi tersebut mencerminkan penegakan hukum yang belum optimal dan tegas, serta masih diskriminatif oleh pihak Kepolisian. Kondisi tersebut juga membuktikan bahwa, Kepala Daerah/wakilnya dan Pemda serta Aparatnya masih terbatas kemampuan dan profesionalismenya dalam upaya mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah yang terkait kerukunan antar umat beragama.
Ketujuh (7). Penyelesaian masalah pembangunan dan keberadaan rumah ibadah yang melanggar kesepakatan bersama tokoh agama setempat dan PBM no 8 dan 9 tahun 2006 mengenai kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah, belum tampak hadirnya sebuah negara hukum.
Kedelapan (8). Mendorong dan mendesak agar PBM No. 8 dan 9 tahun 2006 ditingkatkan menjadi UU. Melalui UU ini diharapkan kerukunan antar umat beragama lebih mungkin diwujudkan, dan pelanggaran terhadap UU ini dapat dilakukan penegakan hukum yang tegas dan adil. Untuk itu, MUI mendorong agar RUU mengenai kerukunan antar umat beragama dapat di prioritaskan dalam Prolegnas tahun 2016 untuk dibahas bersama DPR dan Presiden, serta di sah kan dalam waktu secepatnya.
Kesembilan (9). Terkait dengan butir 8 diatas, Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se- Indonesia V pada 7-10 Juni 2015 di Ponpes At Tauhidiyah, Tegal Jawa Tengah telah memutuskan bahwa, MUI mendesak Pemerintah dan DPR untuk membentuk sebuah Undang-Undang yang mengatur kerukunan umat beragama, perlindungan agama, jaminan dan perlindungan umat beragama, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah.
UU ini penting dibentuk, karena masih banyak terjadi ketegangan, konflik di tingkat bawah yang terkait kerukunan antar umat beragama. Beberapa materi paling penting yang perlu dimasukan adalah mengenai :
a. Perlindungan agama dari pelecehan dan penodaan agama, serta pernyataan kebencian terhadap agama
b. Hak pemeluk agama (seperti menjalankan ibadah, mendirikan rumah ibadah, mendapatkan pelayanan sama dan proporsial dari pemerintah), dengan mengacu dan mengadopsi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, serta mendorong penyelesaian status badan hukum atas rumah-rumah ibadah (wakaf).
c. Kewajiban pemeluk agama (antara lain menjaga kerukunan dan ketertiban umum, menjunjung tinggi agama, menjaga toleransi, dan taat hukum).
d. Tugas dan tanggung jawab pemerintah antara lain; memberikan pelayanan dan dukungan yang adil dan proporsional terhadap semua pemeluk agama, melindungi dan menjamin hak umat beragama, menegakkan hukum secara tegas dan tanpa pandang bulu, memberikan sanksi keras dan tegas kepada pelanggar UU ini.(bh/mnd)
|