JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Kapolri Jenderal Pol. Timur Pradopo akan mengambil hikmah atas bentrok berdarah di Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan. Peristiwa yang dipicu sengketa lahan itu, akan ditindak lanjuti dengan instropeksi ke dalam untuk perbaikan institusinya ke depan.
“Kemudian dari pengalaman-pengalaman itu, kami ambil hikmahnya. Tentutnya untuk perbaikan ke dalam. Kami harus mempu mengatasi konflik akibat masalah sosial di masa datang," kata Timur Pradopo, usai mengikuti apel siaga Operasi Lilin 2011 yang berlangsung di Lapangan Monas, Jakarta, Kamis (22/12).
Menurut dia, bentrok berdarah itu diharapkan takkan terulang lagi dengan mengintensifkan peran kepolisian untuk lebih melakukan pendekatan sosial ketimbang keamanan. Dengan begitu diharapkan takkan terjadi lagi peristiwa serupa. “Apa yang menjadi kendala selama ini, bisa terurai dan tidak harus menimbulkan korban jiwa," imbuh Timur.
Kapolri juga menunggu hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mesuji versi pemerintah yang dipimpin Wamenkumham Indrayana. Pihaknya siap memproses secara hukum terhadap anggotanya yang terlibat dalam bentrok berdarah itu. "Kami hormati tim. Kami siap tindak anggota kepolisian yang salahi prosedur dan melanggar hukum,” tandas Timur.
Tapi dalam kenyataannya, ternyata pihak kepolisian setempat hanya menghukum dua polisi dengan sanksi disiplin. Padahal, mereka terbukti melakukan penembakan dan menewaskan warga di tempat kejadian. Mereka hanya dihukum sanksi disiplin berupa dua minggu kurunga, sama sekali tidak diproses secara pidana atas pelanggaran yang merekalakukan itu.
Di hubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi IV Herman Khaeron menyatakan bahwa bentrok berdarah di Mesuji itu akibat sengketa lahan antara warga dengan perusahaan perkebunan sawit. Artinya, permasalahan dipicu akibat tanah. Atas dasar ini, pihaknya sudah mengirim surat jepada pemerintah untuk melakukan pembahasan revisi UU Perkebunan yang tidak mengayomi kepentingan masyarakat.
Menurut dia, penggunaan hutan Hak Guna Usaha (HGU) baru, biasanya perusahaan akan bekerjasama dengan pihak ke tiga. Jika menggunakan pihak ketiga, Kementerian Kehutanan tidak secara langsung lagi mengawasi penggunaan HGU. “Untuk itu, harus ada revisi UU Nomor 18/2004 tentang Perkebunan,” tandas dia.
Revisi sangat mendesak terhadap pasal 21 dan 47. Kedua pasal ini dianggap mengorbankan masyarakat adat yang bermukim dalam satu wilayah, karena perusahaan secara mudah mengambil alih lahan yang sudah dikuasai secara turun temurun. Komisi IV akan memasukan revisi UU Perkebunan menjadi prioritas pembahasan program legislasi nasinal (Prolegnas) 2012. “Regulasi perkebunan harus diperbaiki,” tandas Herman.(dbs/bie/rob)
|