JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Pihak kepolisian terus mendalami aksi amuk massa terhadap komplek pondok pesantren di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, Madura, Jawa Timur, Kamis (29/12) kemarin. Aparat tengah memfokuskan diri untuk mencari provokator dan pelaku pengerusakan pembakaran tersebut.
“Dalam setiap aksi anarkis, dipastikan ada pihak-pihak yang diduga sebagai provokator untuk menggerakkan massa. Sebab, permasalahan ini berawal dari konflik kakak beradik yang menyeret massa. Tapi kondisi di lokasi sudah kondusif. Kami fokus mencari pelaku pembakaran itu,” kata Kadiv Humas Polri, Irjen Pol. Saud Usman Nasution kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (30/12).
Menurut dia, sebenarnya sebelum aksi anarkis terjadi, pihak Muspida dan kedua belah pihak yang berkonflik antara aliran Syiah dan Sunni, sudah melakukan pertemuan. Hal ini untuk mencari jalan tengah, agar konflik ini tidak meluas. "Kedua belah pihak sudah sepakat dan sudah tanda tangan, tapi karena ada provokator, muncullah aksi anarkis itu. Tidak ada korban jiwa dalam kasus ini,” tegas dia.
Selain mencari dan berusaha menangkap provokator dan pelaku aksi pembakaran komplek ponpes itu, pihak kepolisian juga akan melihat secara keseluruhan permasalahan kasus. Hal ini nantinya dapat menjadi bahan untuk penyelesaian kasus ini. Setelah itu baru diputuskan akan diproses pidana atau cukup kekeluargaan.
"Kami lihat dulu permasalahannya yang sebenarnya. Sebab, petugas bisa masuk ke lokasi kejadian, setelah ada negosiasi dengan warga. Kami tidak melakukan penangkapan dulu, karena harus menunggu situasi kondusif. Kami juga akan lihat perkembangan, bagaimana langkah selanjutnya," paparnya.
Saud kembali menyatakan bahwa saat terjadinya proses konflik hingga terjadinya pembakaran, pihak kepolisian tidak ada di tempat kejadian. Aparat tidak bisa masuk ke lokasi, karena dihadang ratusan warga. Petugas akhirnya melakukan negosiasi untuk menghindari kekerasan. Akhirnya penghadang membolehkan polisi memasuki lokasi kejadian.
“Kami terapkan cara-cara untuk menghindari kekerasan dan bentrok dengan warga. Untuk itu, untuk sementara ini, polisi tidak melakukan penangkapan dan menunggu pembahasan lebih lanjut dari kedua belah pihak. Setelah itu, barulah polisi mengambil sikap dalam menindaklanjuti kasus ini,” tandas mantan Kadensus 88 Antiteror Polri ini.
Aksi anarkis berbau SARA itu, terjadi di Sampang, Jawa Timur pada Kamis (29/12) pagi. Ratusan orang menghancurkan komplek pesantren serta rumah yang berada di sekitarnya. Pesantren itu dituding sebagai pusat penyebaran ajaran Syiah di Madura sejak lima tahun lalu.
Ratusan petugas kepolisian Polres Sampang yang dibantu puluhan aparat Kodim Sampang terlambat datang untuk mencegah amuk massa itu. Mereka datang di kompleks pesantren asuhan Tajul Muluk, pemimpin aliran Syiah Sampang itu, setelah luluh lantah rata dengan tanah. Massa anakis ini merupakan gabungan dari beberapa desa di Kecamatan Karangpenang, Sampang, Madura.(dbs/bie)
|