JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – RUU tentang kerukunan beragama yang sedang dibahas oleh DPR, belum memberikan jaminan kebebasan beragama di Indonesia. Drafnya lebih bersemangat mengotak-ngotakkan umat pemeluk agama dan menguatkan dominasi mayoritas.
Demikian diktakan Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos dalam acara diskusi di Jakarta, Minggu (20/11). Menurut dia, RUU ini hanya berisi sejumlah peraturan-peraturan diskriminatif yang selama ini ada, seperti tentang penodaan agama, pendidirian rumah ibadah dan penyebarluasan agama. Peraturan seperti itu kerap memjadi pemicu terjadinya tindakan intoleransi di Indonesia.
“Kelompok atau organisasi yang melakukan tindakan kekerasan atas nama agama sering menggunakan peraturan tersebut untuk melegitimasi perbuatannya. Untuk itu, perlu ada revisi dalam Rancangan Undang-undang tentang Kerukunan Umat Beragama,” jelas dia.
Tidak ada perubahan yang berarti terhadap kondisi intoleransi yang menguat akhir-akhir ini, imbuh Tigor, karena disebabkan produk hukum yang diskriminatif. Inilah yang dijadikan suatu alasan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk bertindak. Padahal, RUU sebenarnya diharapkan dapat merubah paradigma dalam memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
"Justru seharusnya negara mengambil langkah-langkah untuk mencegah, agar kebebasan itu terjamin. Selanjutnya, untuk mencegah agar intoleransi itu bisa di atasi. Inilah yang seharusnya menjadi materi dari muatan RUU tersebut. Termasuk pula larangan ceramah yang menyebar kebencian, soal kompensasi dan restitusi terhadap korban pelanggaran kebebasan beragama dan bagaimana mekanisme complain dari mereka yang kebebasan beragamanya terampas dan yang terakhir siapa penanggung jawab(nya)," ujar Tigor.(dbs/rob)
|