YOGYAKARTA, Berita HUKUM - Tiga RUU Terkait Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) antara lain RUU Konservasi Tanah dan Air, RUU Kelautan dan RUU Revisi UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dinilai penting dalam menentukan kondisi SDA Indonesia di masa depan.
Hal tersebut disampaikan Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), Satiawan Pujiatmoko dalam sambutannya dihadapan Anggota Tim Kunjungan Kerja Komisi IV DPR, dipimpin Wakil Ketua Komisi IV, Ibnu Multazam di Ruang Multimedia Gedung A Lantai 3 Fakultas Kehutanan UGM, di Yogyakarta, Kamis (18/9) lalu.
“Ketiga RUU ini terkait dengan bagaimana kebijakan pada level yang tinggi dalam menentukan nasib bangsa Indonesia ke depan,” ujar Satiawan.
Ia menyatakan, sampai saat ini pengelolaan SDA di Indonesia masih sangat banyak kekurangannya, masih sangat banyak ketidakharmonisan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lain. Menurut perkiraannya, dimungkinkan juga ada peraturan yang basis ilmiahnya kurang.
“Kenapa demikian, karena alam punya batas, alam punya daya dukung, alam punya aturan, alam punya norma yang semuanya itu sebenarnya tidak bisa dikuasai sepenuhnya oleh manusia.
Satiawan mengharapkan UU yang akan dikucurkan nanti mampu untuk mengatur pemanfaatan SDA tidak melebihi kapasitas alam, tidak menabrak ranah dan kaidah alam yang ada.
Karena, menurutnya, jika kita bertabrakan dengan alam, siapapun tidak akan menang, dan kita yang akan menjadi korban seperti yang kita rasakan saat ini.
Pada kesempatan tersebut, Wakil Ketua Komisi IV DPR, Ibnu Multazam menyampaikan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kehutanan dan segenap civitas akademika atas sambutan dan penerimaannya.
Ibnu menjelaskan, Kunjungan Kerja Tim Komisi IV DPR ke UGM ini merupakan rangkaian kerja dari penyusunan RUU Konservasi Tanah dan Air, RUU Kelautan dan RUU Revisi UU Perkebunan.
“Tiga RUU ini menjadi penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena memiliki legitimasi yuridis dalam pasal 33 UUD 1945, dan juga menjadi dasar pengembangan Sumber Daya Alam pertanian, kehutanan dan kelautan di Indonesia,” papar Ibnu.
Ia menyatakan, ketiga RUU tersebut menjadi prioritas Komisi IV DPR bersama pemerintah untuk diselesaikan penyusunannya hingga disahkan dalam lembaran negara pada periode terakhir masa jabatan DPR RI Tahun 2009-2014 ini.
Selanjutnya, Ibnu menjelaskan bahwa RUU Perkebunan berperan penting dan strategis dalam pembangunan nasional terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa negara, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta optimalisasi SDA secara berkelanjutan.
“Diharapkan RUU Perkebunan akan mampu menjawab problematika yang berkaitan dengan konflik sengketa lahan perkebunan, kepemilikan modal asing, kewajiban membangun dan menyiapkan sarana dan prasarana perkebunan, perijinan serta hak atas tanah,” jelas Ibnu.
Sementara, RUU tentang Konservasi Tanah dan Air, terang Ibnu, memiliki urgensi untuk menjaga SDA tanah dan air di Indonesia.
“Telah banyak UU yang dilahirkan, namun tidak ada satupun UU yang mengatur mengenai kewajiban pemerintah dan masyarakat untuk melakukan konservasi terhadap tanah dan air. Sementara penurunan mutu terhadap SDA tanah dan air terus terjadi,” ungkap Ibnu.
Sedangkan, RUU Kelautan yang merupakan RUU Usul Inisiatif DPR RI menjadi penting karena Indonesia merupakan negara kepulauan sebagaimana disebutkan dalam pasal 25 UUD 1945, SDA laut harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
“Dalam penyusunan RUU Kelautan, salah satunya kami melihat dari Deklarasi Djoeanda 1957. Dimana Indonesia sudah diakui dunia internasional sebagaimana tertera dalam UNCLOS 1982 yang menegaskan ruang lingkup Indonesia untuk terus dikembangkan menjadi negara bahari,” paparnya.
Sementara, RUU Konservasi Tanah dan Air yang saat ini sedang disusun DPR bersama pemerintah sangat penting untuk segera diundangkan. Hal ini untuk menjaga dan menciptakan lingkungan dan kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan.
“Namun diperlukan penyempurnaan radikal, sehingga formulasinya harus lebih cerdas, luas, mendalam, dan mempunyai roh, terstruktur, konsisten, kompak, menyeluruh, harmonis, utuh dan bercirikan outcomes based regulation,” kata Dosen Fakultas Kehutanan UGM, Cahyono Agus saat diskusi dengan Tim Kunjungan Kerja Komisi IV DPR RI.
Dalam diskusi yang dihadiri Tim Komisi IV DPR, Dekan Fakultas Kehutanan UGM dan Civitas Akademika UGM, Cahyono menjelaskan bahwa Indonesia telah memiliki UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Namun keberadaan air bersih justru semakin langka. Air layak minum yang tadinya bisa diperoleh dengan gratis, sekarang harus diperjualbelikan dengan harga semakin mahal. Penurunan jumlah dan mutu air akan mengakibatkan tragedi lingkungan dan kemanusiaan yang berkepanjangan di bumi ini.
“Tragedi menyedihkan karena bencana lingkungan dan kemanusiaan telah menjadi kenyataan menyakitkan yang sulit dibantah dan ternyata tetap selalu berulang,” ungkap Cahyono.
Untuk itu, tegasnya, diperlukan strong strategic, strong leadership, strong regulation, strong implementation, strong participation untuk menciptakan kondisi tanah dan air yang mampu mendukung lingkungan dan kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan.
Cahyono menegaskan, pengelolaan air dan tanah dan RUU Konservasi Air dan Tanah harus dilakukan secara terpadu, menyeluruh, kompak, menyatu dan konsisten dengan kebijakan lain yang terkait, seperti UU Nomor 32/2009 tentang Lingkungan Hidup, UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 5/1994 tentang Keanekaragaman Hayati dan lain-lain.
UU Konservasi Tanah dan Air, kata Cahyono, akan menimbulkan konsekuensi kegiatan dan biaya besar. Namun jaminan perbaikan fungsi lahan untuk lingkungan dan kehidupan yang bermartabat tidak dirumuskan serta tidak terukur dengan baik dalam RUU Konservasi Tanah dan Air yang sedang disusun ini.
“RUU Konservasi Tanah dan Air ini masih berkesan investment based regulation. Untuk itu RUU ini perlu dirumuskan berdasarkan outcomes based regulation, sehingga mampu lebih memberikan keluaran dan dampak positif dengan adanya manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial budaya optimal secara harmoni dan sinergis,” terang Cahyono.
Lebih lanjut Cahyono menilai, RUU Konservasi Tanah dan Air masih menganggap tanah dan air sebagai obyek barang mati yang perlu ditambal sulam sehingga belum memberi roh bagi terciptanya lingkungan dan kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan.
Oleh sebab itu, diperlukan konsep agung EFSD (education for sustainable development). Hal ini dimaksudkan agar kita secara bersama mempunyai komitmen untuk berkonstruksi dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik, dunia yang aman dan nyaman bagi kita semua, baik sekarang maupun mendatang bagi anak dan cucu kita.
Cahyono pada kesempatan tersebut juga mengusulkan dibentuknya kelembagaan yang mampu membangun kapasitas komunitas atau bangsa yang mampu membangun, mengembangkan dan mengimplementasikan rencana kegiatan yang mengarah kepada sustainable development, yaitu kegiatan yang mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan beberapa eco-system unggulan.(sc/dpr/bhc/sya) |