JAKARTA, Berita HUKUM - Pada akhirnya Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) dalam Omnibus Law memunculkan kecurigaan publik.
Lantaran Omnibus Law Ciptaker didesain bukan untuk kepentingan masyarakat Indonesia, khususnya kalangan buruh, melainkan korporasi. Alhasil, RUU ini nantinya mengabaikan pasal 33 UUD 1945.
Begitu pandangan analis politik Rocky Gerung dalam Roundtable Discussion CDCC bertajuk "Omnibus Law Untuk Apa" di kantor CDCC, Warung Jati, Jakarta Selatan, Jumat (6/3).
"RUU ini pada akhirnya ingin mengatakan mesin lebih utama dari manusia. Benar memang, mesin lebih utama dari manusia. Tapi, tiap warga negara berhak mendapat pekerjaan yang layak, sebagaimana tertuang dalam pasal 27 UU 1945," kata Rocky.
Menurut Rocky, benar memang Omnibus Law didesain dengan melibatkan kalangan akademisi. Namun ia menduga, akademisi yang dibayar untuk mendesain secara efektif dan efesien dengan harapan Omnibus Law ini segera diundangkan.
"UU ini pesannya hanya dua. Pertama tekan upah buruh, kedua rusak lingkungan," ungkap dia.
Ditambahkan Rocky Gerung, jika dicermati secara seksama, Omnibus Law ini tak memberikan keuntungan bagi masyarakat Indonesia. Melainkan, menurut dia, ini memberikan kesempatan pada pihak asing untuk membuat ekonomi Indonesia menjadi lebih liberal.
"Jadi isi dari UU ini, tiap warga negara asing mendapatkan penghidupan yang layak di Indonesia. Bukan tiap warga Indonesia berhak mendapatkan penghidupan yang layak," pungkasnya.(ad/RMOL/bh/sya)
|