JAKARTA, Berita HUKUM - Salamuddin Daeng, selaku pengamat ekonomi menuturkan hingga tanggal 25 September 2016, Pererintah Indonesia pada Kementerian Keuangan melalui Dirjen Pajak mengumumkan bahwa, kalau jumlah uang yang sudah masuk ?hasil dari program Tax Amnesty (TA) telah mencapai Rp. 41.74 triliun sungguh luar biasa.
"Ini angka yang sangat besar!.. Bagaimana tidak?, bila uang hasil tax amnesty tahap pertama (I) dengan denda 2% sudah sebesar itu, maka itu berarti nilai aset yang telah deklarasi tax amnesty telah mencapai 2.087 triliun," ungkapnya di Jakarta, Selasa (27/9).
"Ini bahkan merupakan pekerjaan Kementerian Keuangan dan Dirjen Pajak paling sukses sepanjang sejarah indonesia, mungkin di dunia. Belum ada di dunia ini sebuah kementerian bisa verifikasi aset sebesar itu, bahkan di tahap yang boleh dibilang merupakan tahap sosialisasi," cetusnya.
"Namun, bagaimana mungkin pemerintah langsung bisa mendapatkan pemasukan yang begitu besar dari TA dengan "bim salabim Abra kadabra?". Ini sungguh patut dicurigai, jangan-jangan antara yang tertulis dengan isi kantong pemerintah yang sebenarnya berbeda satu dengan lainnya," imbuhnya mengomentari.
Soalnya, menurut pengamat ekonomi dari Pusat Kajian ekonomi Politik UBK, Salamudin Daeng ini bahwa, ada sejumlah alasan yang patut digarisbawahi dan dicurigai terkait dengan capaian tax amnesty tersebut, yaitu:
Pertama (1), Apakah mungkin Kementerian Keuangan dalam hal ini Dirjen Pajak sanggup menyeleksi aset sebesar itu?
Kedua (2), Apakah mungkin semua aset-aset tersebut langsung dapat dikenakan denda tax amnesty ?
Lalu kemudian, Ketiga (3), Apabila benar ada tebusan Rp. 41,74 triliun, menurut padangan Salamudin merasa itu bukan merupakan hasil tebusan dari yang berbasis harta kekayaan, namun itu diduga merupakan uang tebusan para kriminal, koruptor, bandar judi, bandar narkoba, germo protitusi yang siap menebus berapapun agar uangnya yang beredar di pasar gelap bisa dimasukkan ke wilayah legal.
Selanjutnya alasan Keempat (4), Jika benar ada deklarasi aset antara Rp. 2.000 triliun sampai dengan Rp. 4.000 triliun, maka menurutnya pada tahun ini akan ada tambahan pembentukan modal tetap bruto, akan ada tambahan Produk domestik Bruto (PDB). "Tambahan devisa negara dari repatriasi dalam jumlah yang sangat besar. Jika itu bohong maka indikator indikator ekonomi tersebut tidak akan berubah," ungkapnya lagi.
Dan terakhir alasan Kelima (5), Jika benar dalam periode triwulan (3 bulan) Pemerintah bisa mendapatkan tax amnesty sebesar itu, maka pemerintah tidak perlu melakukan pemotongan anggaran tahap II setelah sebelumnya pemerintah melakukan pemotongan melalui APBNPerubahan tahun 2016 sebesar Rp. 160 triliun.
"Pemotongan tahap I sebesar Rp. 130 triliun dan rencana pemotongan tahap II kurang lebih sebesar tahap I. Sampai kapan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan terus 'berpura pura' seperti ini? Pemerintah mengaku 'Kaya Raya' tapi pada kenyataannya sudah 'kere[," cetusnya.
Untuk itulah Salamuddin Daeng menyampaikan, "Jika benar TA sebesar itu, maka rakyat menuntut agar dibebaskan dari pajak tahun ini. Karena tax amnesty merupakan kebijakan yang tidak adil pada pembayar pajak yang taat, yang hingga detik ini masih membayar pajak sebagaimana aturan yang berlaku," tegasnya.
"Kementerian Keuangan jangan menyenang-nyenangkan hati Presiden Jokowi, memanfaatkan ketidaktahuan Presiden Jokowi untuk 'menjebak'," ungkapnya menambahkan.
"Hingga Pemerintah tidak sadar bahwa pemerintah tidak memiliki persiapan apa-apa menghadapi keruntuhan ekonomi yang sudah berada di tepi jurang," tandasnya.(bh/mnd) |