JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) untuk kawasan Sisingamangaraja, Panglima Polim dan Rumah Sakit Fatmawati, takkan bisa dilaksanakan dengan jalur bawah tanah. Tapai harus dengan membangun jalur layang. Pasalnya, pembangunan jalur bawah tanah diyakini akan memakan biaya lebih besar ketimbang membangun jalur layang.
Namun, jika akhirnya disetujui pembangunan jalur bawah tanah, hal itu tentu lebih merugikan warga setempat. Alasannya, harus memundurkan pondasi bangunannya akibat pengerjaan terowongan bawah tanah untuk jalur MRT.
“Rencana pembangunan MRT Jakarta, termasuk di dalamnya tentang jalur MRT Jakarta, telah melalui rangkaian studi yang panjang dan komprehensif oleh berbagai pihak. Untuk jalur di kawasan itu, kemungkinan besar harus dibangun dengan jalur laying, karena berbagai pertimbangan yang ada,” kata Kepala Biro Komunikasi PT MRT Jakarta, Manpalagupta Sitorus kepada wartawan di Jakarta, Kamis (19/1).
Menurut dia, beberapa pertimbangan terkait jalur layang MRT Jakarta di sepanjang Lebak Bulus – Sisingamangaraja, yakni pembangunan jalur bawah tanah akan memakan biaya yang lebih besar dan merugikan warga sepanjang jalan tersebut. “Pembangunan MRT ini bertujuan untuk kepntingan warga. Hal ini yang menjadi prioritas kami,” jelasnya.
Pihaknya, lanjut Sitorus, telah melaksanakan rangkaian sosialisasi kepada publik mengenai pembangunan MRT. Sosialisasi itu tersebut, antara lain sosialisasi pembebasan lahan Koridor MRT Lebak Bulus - Pom Bensin Jl Fatmawati di Kelurahan Cilandak Barat dan Kelurahan Lebak Bulus sejak 30 Agustus 2009. Pihaknya juga mensosialisasi AMDAL pembangunan MRT Jakarta koridor Dukuhatas – Bundaran HI pada 28 Juli 2010 lalu. Terakhir, sosialisasi pembebasan tanah pada 12 April 2012 lalu.
“Pemerintah dan PT MRT Jakarta terus berupaya untuk melakukan komunikasi publik dan mencari solusi yang menguntungkan bagi setiap pihak demi terwujudnya MRT Jakarta yang dibutuhkan warga. Kami harap warga mendukung proyek tersebut,” imbuh Sotorus.(bjc/irw)
|