JAKARTA, Berita HUKUM - Forum Diskusi Media yang digelar Sekretariat Bersama Pers Indonesia (Sekber Pers) bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) di Lobby Gedung B, Kantor DPD-RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat pada, Rabu (12/9), berlangsung hangat. Diskusi yang bertema 'Kebijakan Dewan Pers versus Kemerdekaan Pers', dan sub tema 'Masih Relevankah Eksistensi Dewan Pers di Tengah Maraknya Kriminalisasi Wartawan Indonesia Saat Ini?,' dihadiri wartawan dari berbagai media perwakilan organisasi pers.
Pembicara pertama, Wilson Lalengke, Ketua Umum Perasatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) menyatakan, "Ketika kita sebagai wartawa profesional dilarang, dihambat untuk melakukan tugas jurnalistik, maka di sanalah kita harus melihat dalam bahasa atau istilah saya itu, bahwa hak kita sebagai warga negara untuk menyampaikan pendapat, menyampaikan informasi yang ada di sekitar kita telah diinjak-injak oleh sebuah sistem atau orang lain, dan pihak-pihak berkepentingan," tegas Wilson, Rabu (12/9).
Dengan tema ini, lanjut Wilson, dirrinya melihat dan menggaris bawahi ada sesuatu yang harus diperbaiki dalam pengelolaan pers, dimana salah satu pihak yang harus dibenahi adalah Dewan Pers itu sendiri. "Kita coba bahas dan diskusikan apakah Dewan Pers masih perlu kita pertahankan atau perlu kita laporkan kepada para Anggota DPD RI dan DPR RI untuk melakukan telaah dan kajian, bilamana perlu dibubarkan," urainya.
Dewan Pers yang dibentuk berdasarkan pasal 15 Undang undang nomor 40 tahun 1999 pada awal mulanya, menurut jebolan Lemhanas ini, diharapkan menjadi mediator untuk menjembatani komunikasi dan koordinasi antar kalangan media dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, namun realitasnya kini justru tampil sebagai sosok penentu kebenaran, dan bahkan berfungsi bak aparat kepolisian yang dapat menentukan sanksi hukum pekerja pers.
Sementara nara sumber llainnya, Hentje Mandagie Ketua Umum SPRI mengutarakan rasa terima kasihnya kepada Senator DPD RI, Pimpinan Komite I, Fachrul Razi yang telah mensupport dan memfasilitasi terselenggaranya acara Forum Diskusi Media ini dan bahkan pihak Komite 1 DPD RI telah resmi menjadwalkan untuk memanggil Kemenkominfo, Dewan Pers guna melakukan Dengar Pendapat sebagai tindak lanjut dari aspirasi Sekber Pers Indonesia kepada pimpinan Komite I DPD RI baru-baru ini.
"Peritiwa kriminalisasi pers yang marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia, semua berasal dari rekomendasi Dewan Pers yang menyatakan bahwa berita yang dimuat pihak teradu tidak memenuhi kode etik jurnaliistik dan medianya dinyatakan belum terverifikkasi, serta wartawan yang menulis beritanya belum ikut Uji Kompetensi Wartawan, sehingga pihak penggadu disarankaan untuk meneruskan laporannya ke aparat hukum," urai Mandagi dalam pemaparannya di depan peserta diskusi.
Permasalahan UKW inilah, menurut Mandagi, telah terjadi pelanggaran UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana kewenangan untuk melaksanakan sertifikasi profesi ada pada Badan Nasional Sertifikasi Profesi. "Jadi Dewan Pers tidak punya kewenangan memberi lisensi kepada Lembaga Sertifikasi versi DP untuk melaksanakan UKW," tukasnya.
Selain itu, lanjutnya lagi, Dewan Pers tidak berwenang melaksanakan verifikasi media berdasarkan aturannya sendiri poin 17 tentang Sttandar Perusahaan Pers, dimana organisasi pers yang berhak melakukan itu.
"Peristiwa kematian wartawan Muhamad Yusuf di balik jeruji besi akibat dikriminalisasi menggunakan rekomendasi Dewan Pers sama artinya dengan sebuah berita seharga nyawa, dan mirisnya Dewan Pers sama sekali tidak merasa bersalah," tegasnya lagi.
Mandagi juga menyorot masalah 43.000 media yang belum diverifikasi.
"Media yang belum diverifikasi serta wartawan yang belum UKW dituding abal-abal, padahal Dewan Pers sendiri yang tidak mampu dan diskriminatif dalam menjalankan fungsinya," jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Fachrul Razi SIP MP, pimpinan Komite I DPD RI mengemukakan bahwa kebjjakan Dewan Pers (DP) telah menjelma seperti menteri penerangan di era orde baru.
Fachrul juga mempertanyakan sikap dan pernyataan Dewan Pers yang tidak mengakui dan bahkan menuding 43 ribu media dan sejumlah organiasi pers dengan sebutan abal-abal. "jika legalitas perusahan media dan organisasi pers berbadan hukum resmi dari KemenkumHAM tidak diakui oleh Dewan Pers dan dianggap abal-abal maka bagi saya Dewan Pers yang mengeluarkan statemen itu yang abal-abal," ujarnya.
Senator asal Aceh ini juga mensinyallir bahwa Dewan Pers telah melindungi kapitalis media yang ingin menghambat media lain untuk berkembang.
"Kita perlu membawa masalah ini kepada Ketua DPR/MPR, bahkan kalau perlu demo diistana negara," ujar Fachrul membakar semangat peserta diskusi.
Dikatakan pula pihak DPD RI akan memanggil Dewan Pers, serta Kemenkominfo guna mempertanyakan dan evaluasi kinerja dan anggaran Dewan Pers pada tanggal 19 Sepetember 2019. "Jika hasil evaluasinya Dewan Pers terbukti melanggar dan menghambat kemerdekaan pers maka DPD secara kelembagaan akan mengambil langkah hukum," pungkasnya.
Sedangkan Dolfie Rompas sebagai narasumber dari praktisi hukum yang sekaligus sebagai Pengacara dari SPRI dan PPWI dalam gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap Dewan Pers di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjelaskan adanya pelanggaran terhadap UUD 45 Pasal 28 terkait kemerdekaan berserikat dan UU Pers No 40 Th 1999 sudah cukup jelas yang menyebutkan tentang kemerdekaan pers.
Dewan Pers dianggap gagal paham karena menurrutnya, kebijakan Uji Kompetensi Wartawan, Standar Kompetensi Wartawan, lisensi LSP adalah bukan kewenangan DP.
"Saya katakan bahwa DP sudah over laping, sudah tidak on the track lagi. Coba lihat pasal 15 bahwa mereka (DP) hanya berfungsi untuk memfasilitasi saja. Bahkan untuk kode etik, mereka tidak membuat kode etik, mereka hanya menetapkan saja. Yang mebuat itu adalah dari seluruh organisasi pers yang menentukan kode etik.jadi bukan dewan pers," jelas Dolfie Rompas.
Untuk diketahui pula, menurutnya, UU Pers No 40 Th 1999 itu dibuat sangat istimewa, karena diubah pada saat atau setelah dilakukan amandemen pertama UUD 45. Karena Pers itu pilar demokrasi bangsa. Karena tanpa UU Pers maka demokrasi itu akan sia-sia dan memberikan kemerdekaan pers itu sangat luas.
Sementara KasihHati selaku Ketua Presidium FPII, dalam diskusi mengutarakan kasus-kasus kriminalisasi dan intimidasi yang menimpa kalangan media sebagai imbas akibat rekomendasi DP. "Mestinya DP tidak boleh berikan rekomendasi, namun pihak penulis diberikan 'hak menjawab'," ungkapnya mencermati.
"Dewan Pers tidak paham amanat UU pers nomor 40 tahun 1999. Dimana mestinya menfasilitasi seperti tertuang dalam pasal 15 huruf (e) UU nomor 40 tahun 1999. Bukan tugasnya mensensor organisasi atau perusahaan Pers. Bahkan, tidak berhak menyebutkan wartawan itu abal-abal atau perusahaan itu abal-abal," tukasnya.
Bahkan, Ketua Presidum FPII itu menceritakan dirinya bersama rekan seperjuangan FPII sudah pernah menemui dan membahas dengan Komisi I DPR RI, Meutia Hafis yang menyatakan bahwa DPR belum menyetujui kebijakan verifikasi media yang dilakukan DP. "Jadi apa yang dilakukan DP, itu ilegal, karena belum disetujui," tegasnya.
Terkait besarnya anggaran yang diberikan Pemerintah kepada Dewan Pers sebesar 36 miliar rupiah, Kasihati ikut mempertanyakan penggunaannya.
"Perjuangan kita belum selesai. 'Sekali layar terkembang pantang surut kita berpantang !," cetusnya.
Acara yang dihadiri sekitar 100 orang pekerja media ini menghadirkan 5 pembicara, yakni Pimpinan Komite 1 DPD RI, Fachrul Razi, MIP; pakar dan praktisi hukum, Dolfie Rompas, S.Sos, SH, MH; Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA; Ketua Umum SPRI, Heinjte Mandagie; dan Ketua Presidium FPII, Kasihhati. Diskusi yang dimulai pukul 14.00 wib dan berlangsung sekitar 4 jam dipandu oleh Edi Anwar, seorang wartawan senior yang tergabung dalam organisasi SPRI.(bh/mnd/bar/hgm) |