Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
EkBis    
Tax Amnesty
Seminar Perlawanan, Jebakan dan Ancaman UU Tax Amnesty dan PP 78 2015
2016-10-12 12:53:46
 

Tampak para pembicara 'Seminar Perlawanan: Jebakan dan Ancaman Lahirnya UU Tax Amnesty dan PP 78 tahun 2015' yang digelar oleh KSPI di Gd Joeang pada, Senin (10/10).(Foto: BH /mnd)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar acara seminar terbuka yang bertajuk, 'Seminar Perlawanan: Jebakan dan Ancaman Lahirnya UU Tax Amnesty dan PP 78 tahun 2015 dengan para pembicara; Salamuddin Daeng saksi ahli JR Tax Amnesty di MK, Hermawanto, SH, MH dari praktisi Hukum, Iwan Kusmawan, Bhima Yudistira dari Ekonom INDEF yang dihadiri pula oleh Said Iqbal sebagai Ketua Umum KSPI serta Sekjen KSPI Muhammad Rusdi, acara digelar bertempat di Gd Joeang pada, Senin (10/10).

Hermawanto sebagai pembicara pada seminar mengulas bahwa, kalau dasar hukum pengampunan pajak / Tax Amnesty dituding adalah keliru, karena merujuk pada UUD45 yaitu pasal 14 ayat 2, tentang Presiden berhak memberikan Amnesti dan Abolisi, dasarnya bukan sebagaimana tertera dalam UUD'45 pasal 23 (a).

"Soalnya kebijakan Undang-undang Tax Amnesty berisi perihal penarikan pajak, namun isinya bukan penarikan pajak, tapi adalah isinya pengampunan pajak," ungkap Hermawanto, Senin (10/10).

"Kalau menarik akan memperoleh uang banyak. Sedangkan, pengampunan malahan mengurangi hak kita," jelas Hermawanto.

Secara normatif MK akan membatalkan UU Tax Amnesty, harusnya UU Tax Amnesty dasarnya adalah pasal 14 ayat (2) dalam UUD'45 tadi, menurut pandangan Hermawanto.

"Karena bukan penarikan, namun pembiaran dengan pemberian pengampunan. Dasar Hukum UU Tax Amnesty itu keliru, saya curiga MK akan mencari aman," cetusnya.

Ditambah lagi, Hermawanto mengatakan bahwa Undang-undang Tax Amnesty ini tidak pernah mengatur dengan jelas , Amnesty itu seperti apa?. "Maka saya curiga MK akan berdasar pada open legal policy, dimana kewenangan hukum terbuka sifatnya," paparnya lagi.

Yang menjadi pertanyaan dalam benak masing-masing, apakah boleh Amnesty diberikan dalam konteks perpajakan?. Karena biasanya dalam konteks politik dan hukum. "Apa itu di sektor politik, kriminal, pajak, pidana, ekonomi. Tapi pertanyaannya adalah ketika UU Amnesty itu dasarnya bukan Amnesty, namun penarikan pajak," terangnya.

"Jawabannya, apakah Presiden berhak memberikan Amnesty? Jawabannya, tidak," tegas Hermawanto, seraya menjelaskan bahwa UU Tax Amnesty tidak berdasarkan pada ketentuan pasal 14 ayat (2) UUD'45 tentang kekuasaan.

Seharusnya pengampunan pajak tidak keluar dari Presiden, menurut Hermawanto tidak langsung dari mekanisme perwakilan perundang-undangan. "Namun, semestinya UU TA keluar, sebelumnya terlebih dahulu mekanismenya dari peradilan pajak," urainya.

"Setelah keluar dahulu keputusan secara administratif, kemudian baru diampuni dengan pemberian dana tebusan. Ini mekanisme yang keliru, seharusnya MK, mengabulkan permohonan," kata Hermawanto, yang juga berprofesi sebagai Pengacara ini.

Dalam seminar terbuka untuk umum kali ini, pantauan pewarta BeritaHUKUM.com di lokasi terlihat ramai dihadiri dari berbagai kalangan dan para pewarta media massa dengan mederator M. Rusdi yang juga menjabat sebagai Sekjen KSPI.

Sementara itu, Salamuddin Daeng sebagai pembicara dan saksi ahli Judicial Review (JR) Tax Amnesty menjelaskan dan membenarkan, memang yang ia angkat judul daripada makalah dan dibacakan di hadapan para Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kebijakan Tax Amensty ini adalah kebohongan, kejahatan. "Mengapa kebohongan?. Karena dirasa tidak berbahasis data yang jelas dan tidak ada yang memandu pemerintah untuk menetapkan siapa yang berhak dan kriteria untuk turut serta ikut TA," ungkapnya dengan tegas.

Bahkan, indikasinya menurut Salamuddin, bentuk kebohongan yang dilakukan bersama sama, atau 'Gayus' jilid ke 2. Soalnya 'tidak ada data yang jelas'. Karena menururtnya orang atau pihak yang melakukan kejahatan dalam bidang perdata, itu yang peroleh tax amnesty.

Seperti misalnya aset murninya, hutang dan lain lain. "Jumlahnya sudah Rp3.700 triliun aset murninya. Yang jadi pertanyaan berarti aset kotornya berapa?," tanyanya, penuh tanda tanya.

"Ditambah, apalagi jumlah aset yang sudah terdeklarasi sudah mencapai Rp7.000 triliun, bagi saya itu tidak mungkin. Apa benar menerima data seperti itu benar? Tidak ada, apa dasar dia mempercayainya. Tidak ada," cetus Salamuddin Daeng, yang juga sebagai Ketua Komite Nasional Pengampunan Pajak (KNPP).

"Bahkan, saya katakan apa bedanya Pemerintahan Jokowi, dengan 'Dimas Kanjeng'?. 'Bim Salabim, Abrakadabra... jadi'," celetuk Daeng, yang dikenal sebagai aktivis senior dan berani.

"Jangan-jangan mereka menetapkan diluar? Tidak ada data sama sekali. Sekarang coba data Gayus kemarin mana? Misalkan mau Tax Amnesty atau bayar pajak 100% saja. Namun pada saat yang sama Pemerintah juga mengejar hutang luar negeri, apalagi APBNP dipotong. Jadi gak ada uang, gak bisa dibuktikan," bebernya.

"Saya bilang ini kejahatan, gak ada data. Jadi yang masuk dalam kebijakan TA, bisa saja dana terorisme, dana money laundring, penggelpan pajak, human traficiking, perdagangan narkoba, dll ini. Jadi negara kita sekarang, ibaratnya bisa dikatakan 'Bandar Narkoba Internasional'. Yang dulu mempersempit uang penjahat seperti ini, dengan mempersulit masuk ke bank, namun sekarang penjahat Nasional, maupun Internasional diperbolehkan untuk memasukan uang," tudingnya.

"Sudah tidak perduli Pancasila lagi, bahkan bisa saja bikin PT. Perlxxxxan,Tbk Indonesia. 'Rezim DEVISA BEBAS', hari ini masuk, kemudian bisa dengan mudah keluar lagi. Hati-hati, ini orang pajak juga hati hati, kalian memegang data rahasia, bahkan kalian akan 'memeras' atau keluarga kalian akan disandera oleh orang itu," tukasnya.

"'Bocor, akan bisa menjadi rahasia umum, hati-hati'. Ada ketidakadilan dimana pihak buruh terima gaji dipotong, ada tunggakan pajak, ada yang harus dibayar. Secara Makro eknomi dari mana uang mereka? Itu yang tidak adil, dimana buruh. Ini tidak ada data dan sistem, ini ngawur," pungkasnya.(bh/mnd)



 
   Berita Terkait > Tax Amnesty
 
  Rencana Pemerintah Gulirkan 'Tax Amnesty' Jilid II Bisa Cederai Rasa Keadilan
  Optimalisasi Penerimaan Pajak Pasca Tax Amnesty
  Band Marjinal Mendukung KSPI Gelar Aksi Didepan MK Saat Sidang JR UU TA
  Seminar Perlawanan, Jebakan dan Ancaman UU Tax Amnesty dan PP 78 2015
  Hasil Tax Amnesty Signifikan, Pemerintah Jangan Langsung Senang
 
ads1

  Berita Utama
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

 

ads2

  Berita Terkini
 
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2