JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Belum habis duka rakyat Indonesia atas nasib tragis yang diterima warga Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan, kini sudah dihadapkan lagi dengan kekerasan yang dilakukan polisi terhadap di Pelabuhan Sape, Lambu, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (24/12) pagi. Dua orang tewas ditembak akibat aksi brutal aparat dalam melakukan pembubaran aksi unjuk rasa.
Bentrokan ini berawal, ratusan massa dari Front Reformasi Anti-Tambang (FRAT) yang menguasai satu-satunya jembatan penyeberangan ferry dari NTB ke NTT itu, sejak Selasa (20/12) hingga Sabtu (24/12). Polisi menempuh cara-cara kekerasan, karena Bupati dan Kapolda gagal mencapai kesepakatan dengan warga. Negosiasi ini juga tak menawarkan kompensasi apa pun, sehingga warga tidak bergeming sepanjang dua tuntutannya tak dipenuhi.
Kedua tuntutan itu, yakni permintaan pencabutan SK Bupati Bima Nomor 188 Tahun 2010 tentang ijin pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara dan pembebasan AS, tersangka pembakaran kantor Camat Lumbu yang terjadi pada 10 Maret 2011 dan telah diserahkan ke kejaksaan. Selama pendudukan jembatan ferry itu, sejumlah kaum perempuan dan anak-anak berada di sana.
Akibat sikap kepolisian yang berlebihan dalam menangani aksi unjuk rasa yang menelan korban jiwa itu, sikap massa makin beringas. Tindak anarkis pun tak bisa dihindarkan. Warga langsung menyerang dan menghancurkan serta membakar Polsek Lambu dan sejumlah kantor pemerintah setempat yang berada di sekitarnya.
Berdasarkan keterangan Koordinator Walhi NTB, Ali Usman Al Khairi, aparat kepolisian melakukan penembakan dengan menggunakan peluru tajam saat membubarkan aksi unjuk rasa itu. "Polisi membubarkan massa dengan tembakan mendatar dengan peluru tajam," ujarnya dalam wawancara yang disiarkan stasiun teve swasta nasional.
Ali juga membenarkan bahwa polisi awalnya sudah memberikan tindakan tembakan peringatan ke udara. Tetapi tembakan peringatan itu sangat cepat dan secara tiba-tiba kepolisian menembak mendatar dengan peluru tajam.
“Buktinya, korban tewas bernama Arif Rahman (19) mengalami luka tembak lengan kanan tembus ke ketiak. Lalu Saepul(17) luka tembak dada tembus. Tembakan peringatan pakai peluru hampa, tapi kemudian menggunakan peluru tajam dengan tembakan mendatar," imbuhnya.
Aksi kekerasan aparat kepolisian ini pun mendapat kecaman dari berbagai pihak. Seperti yang disampaikan Presidium GMNI Imam Munandar Batubara, mengutuk tindakan kekerasan itu. Kepolisian telah kehilangan orientasi dalam menangani aksi-aksi massa. Pemerintah terkesan tutup mata, dan cenderung melakukan konspirasi dengan pemilik modal.
Ketegasan Presiden SBY memimpin negara ini, bukanlah rezim yang harus mengorbankan nyawa rakyat Indonesia. Rezim ini makin mencatatkan dalam sejarah kelam terbanyak dari yang pernah terjadi selama kepemimpinan presiden di Indonesia.
"Sebuah realitas yang sangat memprihatinkan di era demokrasi. Pemerintahan SBY diakhir tahun 2011 meninggalkan terlalu banyak luka di hati rakyat Indonesia. Buka mata dan hatimu wahai Presiden SBY yang masih terhormat. Mau berapa banyak lagi rakyat yang mati secara sadis di depan mata,” tandasImam.(dbs/bie/rob/irw)
|