JAKARTA, Berita HUKUM - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali diajukan untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (21/11). Tercatat beberapa pemohon perseorangan menjadi pemohon perkara yang teregistrasi dengan Nomor perkara 103/PUU-XIV/2016, yakni Juniver Girsang, Harry Ponto, Swandy Halim, Patuan Sinaga, Joelbaner Hendrik Toendan, Arief Patramijaya, Hanita Oktavia, Patricia Lestari, Triweka Rinanti, N. Pininta Ambuwaru, dan Handoko Taslim.
Para pemohon yang merupakan advokat tergabung dalam Persatuan Advokat Indonesia merasa keberatan dengan berlakunya Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang mengatur tentang syarat materi yang terdapat dalam surat putusan pemidanaan. Menurut para pemohon, syarat materi tersebut menimbulkan ketidakpastian terhadap jangka waktu penyelesaian sebuah perkara mengingat banyaknya materi yang harus dicantumkan. Apalagi Mahkamah Agung menerapkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP pada setiap tingkatan peradilan, termasuk tingkat kasasi atau peninjauan kembali.
Pasal 197 ayat (10 KUHAP menyebutkan:
"Surat putusan pemidanaan memuat :
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi : \"DEMI KEADILAN BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA\";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;"
Selain itu, Patra Zen selaku kuasa pemohon menjelaskan dampak langsung yang dirasakan para Pemohon, yakni tidak dapat memberikan pelayanan jasa hukum secara efektif dan efisien kepada masyarakat pencari keadilan dan dianggap tidak profesional karena tidak dapat memberikan informasi/kepastian kepada klien kapan perkara yang ditanganinya akan selesai diadili oleh Mahkamah Agung.
Tak hanya itu, dampak lainnya yang merugikan pemohon dari ketidakpastian jangka waktu penyelesaian perkara di Mahkamah Agung adalah memberi celah bagi hadirnya oknum yang mengiming-imingi dapat membantu mempercepat penanganan perkara.
Para Pemohon juga menilai sebaiknya syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada Pasal 197 ayat (1) KUHAP hanya wajib dimuat dalam surat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama saja. Sehingga ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan norma a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa syarat-syarat dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP hanya wajib dimuat pada surat putusan pemidanaan pada peradilan tingkat pertama atau pengadilan negeri," ujar Patra di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan pemohon, Majelis Hakim Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan Sitompul memberikan saran perbaikan. Wahiduddin menjelaskan dalil permohonan Pemohon terlihat pada masalah implementasi dari Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang menghambat kinerja pemohon sebagai bagian dari penegak hukum. Akan tetapi, ia mengingatkan bahwa MK tidak memeriksa dan mengadili masalah implementasi norma.
"Ini supaya dielaborasi betul. Jangan terkesan ini implementasinya dari Pasal 197 KUHAP kan kita tidak menguji implementasi tapi norma yang diuji. Karena ini diuji terhadap Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Nah, ini coba nanti dielaborasi betul sehingga tidak menonjolkan pada kasus konkret yang dialami," saran Wahiduddin.
Pemohon diberi waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permohonan. Sidang berikutnya akan digelar dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan.(LuluAnjarsari/lul/MK/bh/sya) |