JAKARTA, Berita HUKUM - Pencipta Private Social Card (Priscard), sebuah kartu santunan sosial, Bernard Samoel Sumarauw kembali mengajukan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Priscard ciptaannya yang dipergunakan Jamsostek. Kali ini ia menguji secara materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sidang perdana perkara dengan Nomor 52/PUU-XIII/2015 digelar MK pada Selasa (5/5) di Ruang Sidang MK.
Bernard yang hadir tanpa diwakili oleh kuasa hukumnya, menjelaskan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 51 ayat (1) UU Hak Cipta. Pasal 51 ayat (1) menyatakan “Pemerintah dapat meyelenggarakan Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi atas suatu ciptaan melalui radio, televisi dan/ atau sarana lain untuk kepentingan nasional tanpa izin dari Pemegang Hak Cipta dengan ketentuan wajib memberikan imbalan kepada Pemegang Hak Cipta”. Ia menganggap frasa dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2014 yang menyebutkan “Pemerintah menyelenggarakan atas suatu ciptaan untuk kepentingan nasional” mempunyai pemahaman yang multi tafsir karena ciptaan pemerintah bukanlah suatu karya cipta yang dihasilkan dan diekspresikan, diwujudkan dalam bentuk nyata, dan tidak ada sifat khas dan pribadi yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Ia menganggap pasal tersebut menyatakan ciptaan pemerintah untuk kepentingan nasional tidak perlu meminta izin dari Pemohon, tetapi diberikan imbalan. Sedangkan dalam Undang-Undang Hak Cipta itu sendiri dinyatakan dengan tegas dan jelas bahwa setiap undang-undang yang sudah dibuat yang sudah mendapatkan pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM itu harus mendapatkan izin dari Pemohon, walaupun itu suatu ciptaan pemerintah untuk kepentingan nasional, tidak tercantum dalam undang-undang tersebut.
“Yang menjadi hak cipta saya, yaitu ada kaitannya dengan program jaminan sosial. Sedangkan program saya ini berbenturan dengan ciptaan pemerintah yang terkait dengan program jaminan sosial itu. Sehingga kalau seandainya saya ajukan gugatan ke pengadilan niaga, saya akan terbentur dengan pasal yang ada di dalam Undang-Undang Hak Cipta tersebut yang menyatakan ‘Ciptaan pemerintah tidak perlu mendapatkan izin’,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Aswanto bersama Hakim Konstitusi Suhartoyo dan I Dewa Gede Palguna.
Untuk itulah, dalam petitumnya, meminta agar Majelis Hakim Konstitusi membatalkan Pasal 51 ayat (1) UU Hak Cipta. “Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Pasal 51 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” terangnya.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim memberikan sejumlah saran saran perbaikan. Suhartoyo meminta Pemohon agar lebih menguraikan kerugian konstitusional yang dialami. “Coba nanti Bapak argumenkan di dalam permohonan Bapak ini sehingga nanti memang betul Bapak ini betul-betul lebih nyata, lebih konkrit kerugiannya dibanding pemerintah yang sebenarnya pemerintah itu karena kepentingan nasional, kepentingan umum yang harus diutamakan. Kalau Bapak punya diuraikan itu di dalam permohonan Bapak itu, di dalam perbaikan nanti,” terangnya.
Sementara Palguna menilai frasa ‘ciptaan pemerintah’ yang diuji tidak tepat karena frasa tersebut tidak tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) UU Hak Cipta. “Bapak menyebutkan kata frasa ciptaan pemerintah itu yang tidak ada di dalam pasal yang Bapak mohonkan pengujian. Jadi, itu justru membuat misalnya orang lain akan kebingungan kalau mencari, ini argumen ini ditujukan ke mana? Frasa yang dimaksud itu di mana?” tandasnya.
Pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya mengagendakan sidang pemeriksaan perbaikan.(LuluAnjarsari/mk/bh/sya) |