Oleh: Atisa Praharini, SH, MH
PERJALANAN panjang pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) selama kurang lebih delapan tahun akhirnya membuahkan hasil. Rapat paripurna DPR RI tanggal 25 September 2014 telah menyetujui RUU JPH menjadi Undang-Undang. Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) mengatur beberapa poin penting yaitu:
Pertama, lahirnya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berwenang menerbitkan sertifikat halal. Secara struktural, badan ini berada di bawah Kementerian Agama. BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UU JPH diundangkan. Dalam mengelola keuangannya, BPJPH menggunakan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU).
Kedua, terbukanya kesepatan bagi pemerintah (misalnya perguruan tinggi negeri) atau masyarakat yang akan mendirikan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). LPH merupakan lembaga yang melakukan pemeriksaan/pengujian produk. Dalam LPH terdapat auditor halal sebagai bagian tidak terpisahkan dari LPH yang harus memenuhi sejumlah persyaratan terkait keahliannya.
Ketiga, tata cara permohonan memperoleh sertifikat halal. Jika selama ini, permohonan sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha ke lembaga sertifikasi halal seperti Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), ke depan setelah BPJPH dibentuk, permohonan sertifikat halal diajukan ke BPJPH. Selanjutnya BPJPH akan memeriksa kelengkapan dokumen dan menetapkan LPH yang akan melakukan pemeriksaan/pengujian produk. Setelah pemeriksaan/pengujian produk di LPH selesai, LPH menyerahkan hasil pemeriksaan/pengujian ke Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI akan menetapkan kehalalan produk dalam sidang fatwa halal yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk keputusan penetapan halal produk. Terhadap produk yang dinyatakan halal oleh MUI, BPJPH akan menerbitkan sertifikat halal. Pelaku usaha yang memperoleh sertifikat halal dari BPJPH wajib mencantumkan label halal pada produknya.
Keempat, masa transisi sebelum BPJPH dibentuk. UU JPH mengatur bahwa sertifikat halal yang diterbitkan oleh MUI sebelum lahirnya UU JPH, tetap berlaku sampai masa berlaku sertifikat berakhir. UU JPH juga menegaskan bahwa sebelum BPJPH dibentuk, baik permohonan sertifikat halal yang baru, maupun perpanjangan sertikat halal tetap diajukan ke LPPOM MUI.
Tantangan awal dalam mengimplementasikan UU JPH yakni peraturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri Agama yang harus ditetapkan paling lama dua tahun terhitung sejak UU JPH diundangkan. Peraturan Pemerintah akan mengatur antara lain mengenai kerjasama BPJPH, LPH, biaya sertifikasi halal, dan pengawasan. Peraturan Presiden akan mengatur mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH. Peraturan Menteri Agama akan mengatur antara lain mengenai tata cara pengajuan permohonan sertifikat halal dan label halal. Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah diprediksi akan lebih berat karena harus dibahas oleh panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementrian terkait sehingga diperlukan koordinasi yang intensif untuk segera menyelesaikan Peraturan Pemerintah.
Dalam mengimplementasikan UU JPH, Kementerian Agama yang menaungi BPJPH akan menghadapi tantangan besar. Kewenangan menerima permohonan sertifikat halal sampai menerbitkan sertifikat halal, menjadikan BPJPH harus siap sebagai penyelenggara pelayanan publik di bidang jaminan produk halal. Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, serta kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Adapun menurut UU JPH, asas penyelenggaraan JPH terdiri atas pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisensi, dan profesionalitas. Baik asas pelayanan publik maupun asas penyelenggaraaan JPH harus menjadi landasan BPJPH dalam melaksanakan tugasnya.
Dalam proses pembentukan BPJPH, Kementerian Agama harus menyiapkan sumber daya manusia yang handal dengan etos kerja yang tinggi, serta sarana dan prasarana yang memadai sampai ke tingkat daerah untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada pemohon sertifikat halal. Dengan dimungkinkannya pembentukan perwakilan BPJPH di daerah, harus dipertimbangkan kriteria dalam menentukan apakah suatu permohonan sertifikat halal diajukan ke BPJPH pusat atau ke perwakilan BPJPH di daerah.
Asas ketepatan waktu, efektivitas, dan efisiensi menuntut BPJPH untuk memenuhi aturan waktu yang diatur dalam UU JPH, seperti penetapan LPH dalam jangka waktu paling lama lima hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan dari pelaku usaha dinyatakan lengkap dan penerbitan sertifikat halal dalam jangka waktu paling lama tujuh hari kerja sejak keputusan kehalalan produk dari MUI diterima BPJPH.
Asas akuntabilitas dan transparansi/keterbukaan menuntut BPJPH harus siap mempertanggungjawabkan dan mempublikasikan kegiatannya kepada publik. BPJPH harus memudahkan pelaku usaha memantau perjalanan proses permohonan, apakah sedang dalam proses di BPJPH, LPH, atau MUI. BPJPH juga harus selalu terkini dalam mempublikasikan produk yang telah memperoleh sertifikat halal melalui berbagai media yang mudah dijangkau masyarakat. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan bahwa hak atas informasi menjadi sangat penting karena makin terbuka penyelenggaraan negara untuk diawasi publik, penyelenggaraan negara tersebut makin dapat dipertanggungjawabkan.
Kemajuan teknologi informasi yang melaju cepat harus dimanfaatkan BPJPH dalam memudahkan pelayanan, seperti pendaftaran permohonan atau penyampaian pengaduan secara online serta aplikasi gratis mengenai penyelenggaraan jaminan produk halal yang dapat diunduh melalui ponsel pintar. Keterbatasan pada daerah-daerah tertentu, tidak boleh menyurutkan kinerja BPJPH. BPJPH dapat menerapkan sistem jemput bola misalnya dengan menyediakan fasilitas layanan keliling bagi pelaku usaha yang akan mengajukan permohonan sertifikat halal sekaligus terjun langsung ke masyarakat untuk mensosialisasikan mengenai kehalalan produk.
Peran serta masyarakat antara lain dalam bentuk pengawasan terhadap masa berlaku sertifikat halal, pencantuman label halal dan keterangan tidak halal, serta penyajian antara produk halal dan tidak halal seperti tercantum dalam UU JPH harus dipenuhi BPJPH dengan menyediakan layanan pengaduan yang responsif. Layanan pengaduan tersebut juga harus dapat dimanfaatkan publik untuk menyampaikan keluhan terkait kinerja BPJPH. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU tentang Pelayanan Publik yang menegaskan bahwa masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik kepada penyelenggara (dalam hal ini BPJPH), Ombudsman, dan/atau DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota.
Tantangan lain dalam mengimplementasikan UU JPH yaitu koordinasi. Dalam proses sejak pengajuan permohonan sertifikat halal sampai dengan penerbitan sertifikat halal, bukan hanya BPJPH yang berkerja, melainkan ada kerja sama antara BPJPH dengan LPH dan MUI. Oleh karena itu, koordinasi mutlak dibutuhkan untuk menciptakan sinergi yang baik antara BPJPH dengan LPH dan MUI dalam penyelenggaraan jaminan produk halal.
Dengan dibukanya kesempatan pada pemerintah atau masyarakat mendirikan LPH, terdapat tantangan bagaimana menciptakan persaingan yang sehat antar LPH. Penegasan UU JPH bahwa LPH memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan pemeriksaan/pengujian harus diakomodasi dengan memberikan keleluasaan kepada pemohon sertifikat halal untuk memilih LPH kredibel yang dikehendaki. Untuk memilih LPH yang dikehendaki, pemohon harus mendapat info yang jelas mengenai profil berbagai LPH yang ada. Adanya kekhawatiran keleluasaan pemohon sertifikat halal dalam memilih LPH dapat membuka celah terjadi “kerja sama” untuk meloloskan pemeriksaan produk harus diantisipasi dengan mekanisme pengawasan yang ketat.
Sejumlah tantangan tersebut memang bukan persoalan yang mudah. Namun tantangan tersebut sejalan dengan konsep penyelenggaraan pemerintah yang terbuka (open government) untuk mewujudkan iklim demokrasi yang sehat. Dalam konsep penyelenggaraan pemerintah yang terbuka, masyarakat memiliki hak untuk memantau (right to observe), hak untuk memperoleh informasi (right/access to information), hak untuk berpatisipasi (right to participate), dan hak untuk mengajukan keberatan/keluhan (right to appeal/complain) (Santosa, 2001).
UU JPH yang diparipurnakan menjelang berakhirnya pemerintahan SBY memang menyisakan pekerjaan rumah yang besar bagi Kementerian Agama periode Presiden Jokowi. Namun demi terwujudnya penyelenggaraan jaminan produk halal yang optimal, Kementerian Agama mendatang harus dapat menjawab sejumlah tantangan tersebut dengan persiapan yang matang, seraya terus mensosialisasikan UU JPH sehingga pemangku kepentingan terkait mendapat gambaran mengenai hal apa yang harus dilakukan sebelum dan setelah BPJPH dibentuk.(ap/bhc/sya)
*Penulis adalah Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang Bidang Kesra, Sekretariat Jenderal DPR RI. Pembahasan RUU yang diikuti antara lain RUU tentang Jaminan Produk Halal (2014), RUU tentang Cagar Budaya (2010), dan RUU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (2009).
|