JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota DPR Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menyebutkan bahwa setiap orang wajib melaporkan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK dalam memberantas pidana pencucian uang.
Ia mengungkapkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ada ketentuan bahwa setiap orang yang menerima harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana bisa dipidanakan.
“Sebetulnya yang dikhawatirkan mengenai advokat diduga terlibat dalam pusaran pencucian uang ialah adanya dana suap kepada para penegak hukum. Di sini bisa dilihat besar atau tidak. Advokat sampai dapat uang miliaran rupiah itu menurut saya perlu ditelusuri dan dimintai keterangan,“ jelasnya.
Secara terpisah, Wakil Kepala PPATK Agus Santoso mengatakan ada enam profesi tambahan yang wajib melaporkan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK untuk dan atas nama pengguna jasa.
Hal itu sesuai dengan peraturan pemerintah (PP) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo tentang pihak pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan pidana pencucian uang pada 23 Juni lalu. Keenam profesi tambahan tersebut ialah advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik, dan perencanaan keuangan.
“Dengan bergabungnya kelompok profesi sebagai pihak pelapor PPATK, kelompok ini akan terlindungi profesionalitasnya karena tidak mungkin lagi disalahgunakan oknum untuk sarana kejahatan pencucian uang,“ ujar Agus.
Sebelum PP itu terbit, ada dua pihak pelapor yakni penyedia jasa keuangan yang terdiri dari 17 sektor usaha serta penyedia barang dan jasa yang memiliki lima sektor usaha. Penyedia jasa keuangan di antaranya bank, perusahaan pembiayaan, dana pensiunan lembaga keuangan dan penggadaian.
“Profesi-profesi ini mau tidak mau harus mengenali profil pengguna jasanya dan menghindari atau wajib melaporkan nasabah yang transaksinya tergolong mencurigakan atau yang bertransaksi tunai Rp500 juta ke atas,“ pungkasnya.
Sementara itu, mantan Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia Otto Hasibuan mengatakan kepada Media Indonesia pekan lalu bahwa tindak pidana pencucian uang bisa dilakukan oleh siapa saja tak terkecuali oleh advokat dari kliennya.
Namun, ungkap Otto, hingga saat ini sasaran advokat menjadi salah satu sarana pencucian uang belum bisa dibuktikan benar ada atau tidaknya. “TPPU tidak hanya advokat, semua orang juga bisa menjadi sasaran dari pelaku korupsi untuk menyamarkan hasil korupsinya,“ kata Otto.
Otto mengatakan, sebagai penerima fee dari kliennya selama persidangan, pengacara tidak tahu-menahu apakah fee tersebut berasal dari hasil pencucian uang. “Belum bisa dipastikan juga itu hasil pencucian uang. Yang namanya pencucian uang kan asal usulnya tidak jelas, dengan menyamarkan hasil korupsinya,“ papar Otto.
Namun, di lain sisi, Otto tidak memungkiri ada advokat yang terlibat dalam kasus suap kepada penegak hukum seperti hakim. Otto melihat ada beberapa advokat yang terlibat dalam kasus suap penegak hukum karena atas suruhan kliennya untuk memenangi perkara.
“Karena sudah ada fakta dari persidangan seorang advokat bersalah menyuap penegak hukum. Saya melihat dari fakta itu,“ jelas Otto.
Dia mencontohkan advokat yang terlibat kasus suap itu ialah Haposan Hutagalung yang terlibat dalam mafia kasus Gayus Halomoan Tambunan dan suap kepada Komisaris Jenderal Susno Duadji sewaktu menjabat Kepala Bareskrim Polri pada 2011. Haposan divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta oleh Mahkamah Agung.(Nov/Adi/P-4/mediaindonesia/kpk/bh/sya) |