JAKARTA, Berita HUKUM - Pengembangan beberapa destinasi wisata di Indonesia, menjadi perhatian khusus dari Presiden Joko Widodo. Diantaranya, Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, Taman Laut Bunaken di Sulawesi Utara, Danau Toba di Sumatra Utara serta Candi Borobudur di Jawa Tengah.
Sebagaimana hal tersebut, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan A. Djalil dalam siaran persnya yang diterima BeritaHUKUM.com di Jakarta, Sabtu (13/7) menegaskan bahwa terdapat beberapa point penting yang perlu dilakukan guna pengembangan lebih lanjut dari destinasi wisata tersebut, khususnya Danau Toba.
"Pertama, perlu konstruksi pemikiran yang out of the box dalam melakukan terobosan untuk mengembangkan kawasan wisata Danau Toba. Saya namakan disruptive policy," ujar Sofyan.
Dia pun mencontohkan bahwa program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan hasil dari pemikiran disruptive policy karena ada terobosan dalam pelaksanaannya.
"Sebelum adanya program PTSL, Kantor Pertanahan hanya mampu menerbitkan 500 ribu - 1 juta sertipikat tanah. Kini melalui PTSL, Kantor Pertanahan bisa mendaftarkan 5 juta bidang tanah dan 9 juta bidang tanah. Dalam PTSL juga kami menggunakan juru ukur independen untuk mengatasi kekurangan juru ukur," paparnya.
Pola pikir masyarakat, kata Sofyan, juga menjadi salah satu kunci untuk mengembangkan kawasan pariwisata Danau Toba. "Untuk pengembangan Danau Toba kita perlu mengubah pola pikir mereka. Kita bisa memberikan pelatihan terkait pengelolaan hotel maupun restoran kepada mereka, dengan melibatkan pihak eksternal," ungkapnya.
Selain itu, dia menyebutkan bahwa pendekatan korporasi juga memiliki peranan yang strategis. "Kita lihat Institut DEL ini dikelola dengan menggunakan pendekatan korporasi. Kita harus melakukan pendekatan yang sama apabila ingin mengembangkan kawasan Danau Toba," tukasnya.(bh/mos) |