JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Tindakan kepolisian yang mengakibatkan tewasnya dua orang warga di Pelabuhan Sape, Bima, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), merupakan tindakan yang berlebihan. Seharusnya polisi hanya melakukan tindakan sekedar melumpuhkan, bukan membunuhi warga yang menuntut diperlakukan secara adil itu.
"Kalau sekedar melumpuhkan tentu tidak akan ada masalah, karena itu bisa menyadarkan orang lain bahwa mereka yang dilumpuhkan itu melanggar. Masyarakat akhirnya membubarkan diri. Tapi setelah warga kocar-kacir, mengapa polisi masih terus menmbakinya dengan peluru tajam," kata Wakil Ketua Komisi III DPR Nasir Djamil yang dihubungi, Senin (26/12).
Aksi polisi yang menyebabkan sejumlah warga tewas hanya karena menutup pelabuhan, lanjuy dia, sudah benar-benar berlebihan. Pasalnya, tindakan warga tersebut yakkan menyebabkan orang lain meninggal dunia. "Atas dasar ini, Komisi III DPR mengutuk keras aksi kekerasan polisi terhadap warganya sendiri,” tegas dia.
Sikap serupa disampaikan anggota DPR asal Fraksi PAN Teguh Juwarno. Menurut dia, seharusnya polisi bisa mengantisipasi sejak awal sehingga massa tidak terprovokasi. Investasi yang ada di daerah jangan sampai melukai keadilan masyarakat. Tindakan brutal sampai merenggut jiwa, tak dapat dibenarkan.
"Tindakan penembakan yang dilakukan polisi terhadap pendemo patut mendapat kecaman keras. Tindakan brutal aparat itu, makin membuktikan bahwa polisi itu hanya menjadi jongos para pemilik modal. Bahkan, memilih membunuh rakyat dengan peluru yang dananya juga dari pajak rakyat," tandas dia.
Sudah saatnya, kata Teguh, secara serius mendorong agar di era demokrasi ini polisi tidak lagi langsung dibawah presiden. "Cukup dibawah Kemendagri agar tidak makin sewenang-wenang dalam penindakan hukum," ujar Teguh menegaskan.
Anggota FPDIP Eva Kusuma Sundari sependapat dengan Teguh Juwarno. Tapi dia memilih Polri diusulkan berada di bawah Jaksa Agung. Hal tersebut terkait dnegan kurangnya kontrol terhadap Polri. Untuk itu perlu dipikirkan untuk menempatkan Polri di bawah Jaksa Agung sebagai bagian dari penegak hukum. “Restrukturisasi internal Polri juga diperlukan, agar organisasi diarahkan pada penguatan polsek-polsek, bukan justru penguatan Mabes Polri sebagaimana yang sudah terjadi selama ini,"papar dia.
PDIP, tegas Eva, juga memprihatinkan serangkaian insiden kekerasan terhadap rakyat kecil-petani yang dilakukan kepolisian. Terbunuhnya beberapa petani dan aktivis mahasiswa adalah indikasi gagalnya reformasi Polri dengan paradigma baru mereka. PDIP menyatakan duka cita dan penyesalan mendalam atas peristiwa di Bima.
Lebih jauh Eva menambahkan wewenang yang luas oleh Polri sebagai satu-satunya pengendali keamanan masyarakat yang boleh menggunakan kekerasan, faktanya minim akuntabilitas. Lemahnya akuntabilitas atas kewenangan-kewenangan Polri yang begitu besar ini, disebabkan minimnya kontrol yang berimplikasi penggunaan kewenangan tidak sah dan tidak proporsional. “Mengapa Polri lebih memilih aksi kekerasan ketimbang dialog untuk menghindari korban jiwa,” tegas dia.
Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengecam keras tindakan brutal aparat keamanan yang menewaskan sejumlah warga di Bima, Sumbawa, NTB. Tindakan tersebut mencerminkan tirani dan arogansi kekuasaan, dari negara dan aparat negara yang tidak melindungi rakyatnya. Tindakan aparat keamanan merupakan pelanggaran HAM berat yang harus diproses melalui jalur hukum secara berkeadilan.
"Insiden Bima berpangkal pada kebijaksanaan pemerintah yang tidak bijak, tidak berpihak kepada rakyat dan hanya membela kepentingan pengusaha. Mestinya aspirasi rakyat diperhatikan dan dipertimbangkan melalui dialog-dialog intensif-persuasif. Kami minta Presiden SBY tidak tinggal diam dan mendesak Kapolri untuk bertanggung jawab," kata Din.(dbs/rob/wmr/bie)
|