JAKARTA, Berita HUKUM - Proyek omnibus law RUU Cipta Kerja terus disorot banyak kalangan. Salah satunya soal perlindungan lingkungan dalam RUU tersebut. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut banyak kekonyolan dalam RUU itu.
"Direduksinya beberapa norma pertanggungjawaban hukum korporasi dalam RUU Cipta Kerja sudah dapat diduga dengan ditunjuknya Ketua Umum Kadin sebagai ketua Satuan Tugas Bersama (Task Force) Naskah Akademik dan Draf RUU," kata Manager Kajian Kebijakan Walhi Boy Even Sembiring saat dihubungi detikcom, Jumat (14/2) lalu.
Terlebih ada bukti beberapa ketentuan yang direduksi adalah ketentuan pertanggungjawaban hukum yang pernah dicoba diuji oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada 2017. Pada pokoknya APHI dan GAPKI terkait dengan norma-norma penegakan hukum pidana, administrasi, dan perdata mengenai larangan dan pertanggungjawaban kebakaran hutan dan lahan.
APHI dan GAPKI menggugat pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang berbunyi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Belakangan, gugatan itu dicabut. Namun materi perubahan Pasal 88 itu masuk dalam draf RUU Cipta Kerja, Pasal itu diubah menjadi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.
"Hal yang paling konyol lainnya, ruang partisipasi publik melalui jalur peradilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 93 UU PPLH untuk mengoreksi atau menguji izin lingkungan dan atau izin usaha melalui Peradilan Administrasi (PTUN) yang diterbitkan oleh pemerintah dihapus," cetus Boy.
Menurut Walhi, RUU ini pantas disebut sebagai RUU Cilaka. Karena pengesahannya hanya memperhatikan dan mengakomodasi kepentingan bisnis.
"Sama sekali tidak menaruh ruang perlindungan pada hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Janji Jokowi untuk berpihak pada rakyat dan lingkungan hidup hanya bualan. Karhutla dan kerusakan lingkungan hidup akan akan memperparah kondisi krisis apabila RUU ini dipaksa untuk disahkan. Dibahas saja tidak pantas," pungkas Boy.
Sebagaimana diketahui, Pasal 88 UU PPLH itu digunakan pemerintah untuk menjerat para perusak dan pembakar hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedikitnya mengantongi putusan dengan nilai ganti rugi hingga Rp 18 triliun dari pembakar/perusak hutan. Meski belum seluruhnya dieksekusi, putusan pengadilan ini memberikan harapan bagi penegakan hukum lingkungan.(gelora.id/bh/sya)
|