Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Opini Hukum    
E-KTP
Wacana Penghapusan atau Pengosongan Kolom Agama pada KTP
Tuesday 18 Nov 2014 00:08:54
 

Ilustrasi. E-KTP.(Foto: dok.BH)
 
Oleh: Zaqiu Rahman, SH., MH.

WACANA mengenai penghapusan atau pengosongan kolom agama dalam kartu tanda Penduduk (KTP) kembali lagi menjadi pembicaraan hangat tidak hanya di social media tetapi juga pada percakapan sehari-hari di masyarakat. Setelah sebelumnya, wacana penghapusan kolom agama di KTP sempat dilontarkan oleh Plt Gubernut DKI Jakarta Basuki Cahya Purnama (Ahok), isu ini kemudian kembali ramai diperbincangan setelah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyinggung hal yang serupa. Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa, para penganut agama atau kepercayaan diluar 6 (enam) agama yang diakui oleh Pemerintah dapat mengosongkan atau tidak perlu mengisi kolom agama di KTP elektronik (KTP-el).

Kebijakan ini disebut sebagai bentuk penghormatan bagi penganut agama atau kepercayaan diluar yang telah diakui Pemerintah secara resmi. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pun mendukung langkah Kemendagri tersebut, dalam keterangannya JK membenarkan bahwa penganut agama dan kepercayaan di luar 6 (enam) agama yang telah diakui pemerintah dapat mengosongkan kolom agama di KTP-el.

Berbeda dengan pernyataan pejabat sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berpendapat seluruh warga negara wajib untuk mengisi kolom agama dalam KTP, ia tidak sepakat dengan ide bahwa kolom agama bisa dikosongkan. Menurutnya identitas agama yang dianut setiap warga Indonesia penting karena bagaimanapun juga agama adalah sesuatu tidak bisa dipisahkan dalam realitas kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan pemerintahan, karena identitas tidak hanya terkait nama, alamat, tetapi juga mengenai agama yang dianut.

Namun demikian, persoalan mengenai pengisian kolom agama warga negara yang beragama di luar 6 (enam) agama atau kepercayaan yang telah diakui Pemerintah diserahkan pada masing-masing warga Negara. Untuk menyikapi hal tersebut, Mendagri akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama untuk membahas masalah itu. Pemerintah tidak ingin ikut campur terhadap WNI yang memeluk agama atau keyakinan sepanjang itu tidak menyesatkan dan mengganggu ketertiban umum (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/555984-menteri-lukman-hakim--kolom-agama-harus-diisi).

Statemen Mendagri ini sempat dikritik oleh salah satu politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah. Fahri menyatakan tidak setuju atas wacana pengosongan kolom agama bagi WNI penganut agama atau kepercayaan yang belum diakui secara resmi oleh pemerintah.

Kebijakan pengosongan kolom agama bagi penganut agama atau kepercayaan lebih cocok diterapkan di negara barat yang menganut paham liberalisme dan individualisme. Sementara kolom agama di negara timur sangat penting, yakni sebagai salah satu unsur identitas bagi seorang warga negara (http://nasional.kompas.com/read/2014/11/07/20404171/Kata.JK.soal.Pengosongan.Kolom.Agama.di.KTP)

Terlepas dari perdebatan di atas, secara sosiologis selain dari 6 (enam) agama atau kepercayaan yang telah diakui pemerintah saat ini, yaitu Kristen Protestan, Kristen Katolik, Islam, Budha, Konghucu, dan Hindu, masih ada juga pemeluk agama minoritas dan keyakinan leluhur seperti Baha'i, Kaharingan, Sunda Wiwitan, Parmalim, dan Ahmadiyah. Selama ini mereka terpaksa harus mengisi kolom agama di KTP sesuai dengan agama mayoritas yang diakui pemerintah ( http://www.cnnindonesia.com/nasional/20141107130001-20-10220/tjahjo-tetap-ingin-kolom-agama-tak-wajib-isi/).

Keterpaksaan terhadap warga negara untuk mengisi kolom agama di KTP yang dibatasi hanya 6 (enam) agama atau kepercayaan yang diakui oleh Pemerintah inilah yang berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia mengenai kebebasan untuk memeluk agama atau kepercayaan yang diyakini, karena mereka terpaksa mengisi kolom agama diluar agama atau kepercayaan yang diyakininya. Disisi lain apabila kolom agama di KTP tersebut akan dihapus atau dikosongkan dikhawatirkan hal ini akan menjadi pintu masuk atas pengakuan negara secara tidak langsung mengenai paham atheisme (tidak percaya dengan Tuhan), dimana apabila terdapat masyarakat yang menganut paham atheisme maka dia dapat melakukannnya dengan tidak mengisi kolom agama DI KTP. Berbagai kekhawatiran juga muncul dengan wacana penghapusan atau pengosongan kolom agama dapat menimbulkan diskriminasi karena seseorang bisa dianggap tidak beragama, belum lagi masalah lainnya mengenai identitas agama seseorang yang terkait dengan persoalan hukum waris, perkawinan, atau tata cara pemakaman ketika seseorang tidak diketahui agamanya.

Dari latar belakang di atas, menarik untuk dapat dibahas mengenai apakah wacana penghapusan atau pengosongan kolom agama di KTP dapat diterapkan di Indonesia, bagaimana keberlakuan peraturan perundangan-undang yang ada di Indonesia dalam merespon wacana tersebut, serta bagaimana solusi kedepan dalam menjawab wacana ini.

Agama yang diakui di Indonesia

Secara formal tidak ada peraturan yang secara khusus mengatur atau mengakui agama di Indonesia, satu-satunya UU yang menyebut keberadaan agama–agama yang ada di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU No. 1/PNPS/1965). Dalam Penjelasan Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 menyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia, karena 6 (enam) macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia. Mereka mendapat jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka juga mendapat jaminan penuh seperti yang dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945 dan mereka dibiarkan keberadaanya sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Wacana Penghapusan atau Pengosongan Kolom Agama pada KTP dalam Perspektif Peraturan Perundang-undang

Untuk mengetahui bagaimana perspektif peraturan perundang-undangan dalam merespon wacana penghapusan dan pengosongan kolom agama di dalam KTP maka perlu dikemukakan beberapa hal terkait peraturan perundang-undangan berikut, pertama, Pancasila, walaupun Pancasila tidak termasuk dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia, tetapi dalam konteks peraturan perundang-undang Pancasila berfungsi sebagai sumber dari segala sumber hukum. Pancasila berfungsi sebagai dasar negara atau acuan norma yang menjadi arah atau pegangan terhadap pembentukan dan penetapan suatu peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia serta sebagai landasan dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salah satu sila yang terdapat dalam Pancasila adalah sila pertama, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam setiap pembentukan atau penetapan peraturan perundang-undangan serta penyelenggaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia harus berlandaskan kepada sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan mengakui eksistensi dan keberadaan Tuhan. Ini dapat diartikan bahwa segala sikap atau perbuatan yang anti atau menafikkan keberadaan Tuhan adalah sikap yang bertentangan dengan sila ini. Itulah sebabnya maka paham-paham anti ketuhanan misalnya seperti komunis dilarang untuk hidup dan beraktifitas di Indonesia. Ini berati tidak ada juga tempat bagi paham atheisme (tidak percaya kepada Tuhan) untuk berkembang dan hidup di Indonesia karena sangat bertentangan dengan salah satu prinsip dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Selain itu, paham Ketuhanan Yang Maha Esa ini hendaknya diwujudkan pula didalam kehidupan kerukunan beragama, kehidupan yang penuh toleransi dalam batas-batas yang diizinkan oleh atau menurut tuntutan agama atau kepercayaan masing-masing, agar terwujud ketentraman dan kesejukan di dalam kehidupan beragama.

Indonesia sebagai negara hukum dan berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjunjung tinggi supremasi hukum serta meyakini bahwa nilai-nilai religius merupakan salah satu sumber inspirasi bagi negara dalam menjalankan kewajibannya. Pancasila telah menjadi dasar negara yang harus diterima oleh seluruh warga negara. Pancasila mengandung lima sila yang saling berkait satu sama lain sebagai suatu kesatuan. Oleh sebab itu, setiap warga negara baik sebagai individu maupun sebagai bangsa secara kolektif harus dapat menerima Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjiwai sila-sila lain, baik Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, maupun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Terkait dengan wacana penghapusan atau pengosongan kolom agama di KTP, pencantuman agama di dalam kolom KTP sesungguhnya tidak saja merupakan bagian dari identitas seorang warga Negara, tetapi juga merupakan salah satu wujud pengakuan terhadap eksistensi Ketuhanan yang Maha Esa yang diaplikasikan secara kongkret dalam salah satu bidang penyelenggaraan bangsa dan Negara yang diwujudkan dalam pencatatan kependudukan, meski dalam pelaksanaannya secara administratif hanya 6 (enam) agama yang boleh dicantumkan. Adapun wacana menghapus atau mengosongkan kolom agama di KTP secara tidak langsung dapat menjadi wadah atau disalahgunakan oleh segelintir orang-orang tertentu yang tidak menganut salah satu agama atau kepercayaan karena menganut paham atheisme dengan cara mengosongkan kolom agama di KTP. Hal inilah dinilai tidak sesuai dengan salah satu prinsip atau dasar negara yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, karena memberikan tempat atau pengakuan baik secara langsung atau tidak langsung kepada warga negara untuk menganut paham atheisme.
Kedua, UUD Tahun 1945, kemerdekaan Bangsa Indonesia diperjuangkan oleh para pahlawan dengan latar belakang berbagai macam agama. Bangsa Indonesia lahir dalam heterogenitas dan kemajemukan-pluralisme.

Ada 2 (dua) hal mendasar yang harus kita pahami dalam menjelaskan kedudukan hukum dan keagamaan di Indonesia, yaitu Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini dapat terlihat dalam falsafah/dasar Negara Indonesia pada alinea ke-4 Pembukaan UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:

“...disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi selurah rakyat Indonesia.”

Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pernyataan pengakuan secara yuridis konstitutional, yang berarti mewajibkan pemerintah/aparat Negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Dengan demikian dasar ini merupakan kunci dari keberhasilan bangsa Indonesia untuk menuju pada apa yang benar, baik, dan adil. Dasar ini merupakan pengikat moril bagi pemerintah dalam menyelenggarakan tugas-tugas Negara, seperti memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Selain itu Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga, yang menyatakan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa….”, dari kalimat ini membuktikan bahwa negara Indonesia bukan negara agama, yaitu negara yang didirikan atas landasan agama tertentu, tetapi negara mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia tidaklah semata-mata akan hasil usaha para pahlawan atau pejuangnya, tetapi juga merupakan rahmat dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa.

Pernyataan pengakuan bangsa Indonesia terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa tidak saja dapat terbaca dalam Pembukaan UUD Tahun 1945, tetapi juga dijabarkan dalam Pasal 29 dan Pasal 28E ayat (1) ayat (2) UUD Tahun 1945, yang menyatakan Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa serta Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Jelaslah sudah hak untuk memeluk agama dan kebebasan untuk beribadah menjadi hak konstitusional bagi Warga Negara Indonesia. Jaminan kemerdekaan beragama yang secara yuridis konstitutional ini membawa konsekuensi pemerintah Pemerintah wajib memberi dorongan dan kesempatan terhadap kehidupan keagamaan yang sehat, perlindungan dan jaminan bagi usaha-usaha penyebaran agama, baik penyebaran agama dalam arti kwalitatif maupun kwantitatif, melarang adanya paksaan memeluk/meninggalkan suatu agama, serta Pemerintah melarang kebebasan untuk tidak memilih agama.

Dalam kontek wacana penghapusan atau pengosongan kolom agama di KTP, jelas sudah bahwa keberlakuan UUD Tahun 1945 khususnya pencantuman kalimat “berkat Rahmat Tuhan yang Maha Kuasa” dan “ Ketuhanan yang Maha Esa “ merupakan penegasan bahwa Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa, yang merupakan dasar pengakuan secara yuridis konstitusional. Dasar tersebut merupakan pengikat moril bagi pemerintah dalam menyelenggarakan salah satu tugas-tugas Negara dengan melarang adanya paksaan memeluk/meninggalkan suatu agama, jaminan kebebasan untuk memeluk agama atau kepecayaannya, menjamin setiap warga negara untuk beribadah, serta Pemerintah melarang kebebasan untuk tidak memilih agama.

Penghapusan atau pengosongan kolom agama merupakan salah satu usaha untuk menafikkan keberadaan agama atau kepercayaan sebagai identitas warga Negara untuk dicatat dalam catatan kependudukan, selain itu dapat pula disalahgunakan untuk menjadi pintu pintu dan pengakuan secara tidak langsung agar masyarakat tidak memeluk salah satu agama atau kepercayaan. Jika hal ini dilakukan maka tidak sesuai dengan prinsip Ketuhanan dan jaminan kebebabasan untuk memeluk agaman atau kepercayaan, serta jaminan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing yang dijamin oleh konstitusi.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Dalam rangka mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional, Negara berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk dan/atau warga negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan pelayanan administrasi kependudukan yang profesional, memenuhi standar teknologi informasi, dinamis, tertib, dan tidak diskriminatif dalam pencapaian standar pelayanan minimal menuju pelayanan prima yang menyeluruh untuk mengatasi permasalahan kependudukan.

Data mengenai kependudukan setiap warga negara salah satunya dituangkan di KTP-el, yang mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. KTP-el tersebut memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el, yang menjadi identitas tunggal untuk semua urusan pelayanan public (Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) UU Adminduk). Terkait dengan pengaturan mengenai pengisian kolom agama, elemen data penduduk tentang agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan “tidak diisi”, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan (Pasal 64 ayat (5) UU Adminduk).

Ketentuan Pasal 64 ayat (5) UU Adminduk ini memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri, kelebihannya kebolehan untuk “tidak diisi” ini dimaksudkan agar tidak melanggar HAM bagi penganut agama atau kepercayaan diluar yang telah diakui oleh Pemerintah. Karena mereka tidak dipaksa atau harus mengisi kolom agama salah satu dari 6 (enam) agama yang telah diakui, sehingga tidak akan mengingkari hati nurani dari pemeluk agama atau kepercayaan yang bersangkutan. Kelemahannya, ini bisa menimbulkan diskriminasi bagi pemeluknya, karena tidak semua petugas dilapangan mengerti akan maksud norma pengaturan ini sesunggngnya, sehingga kejadian dilapangan orang yang tidak mengisi kolom agama ini tidak jarang akan menerima stigma dimasyarakat sebagai orang yang tidak memiliki kepercayaan atau agama. Selain itu ketentuan ini dapat menjadi pintu masuk bagi pengakuan Negara secara langsung terhadap paham atheisme, karena klausula ini dapat dapat disalahgunakan sebagai dasar legitimasi bagi segelintir masyarakat yang tidak percaya akan Tuhan untuk tidak mencantumkan agama atau kepercayaan di dalam kolom KTP.

Dalam konteks wacana penghapusan atau pengosongan kolom agama di KTP, hendaknya ketentuan Pasal 64 ayat (5) UU Adminduk ini sebaiknya direvisi dengan mewajibkan setiap warga negara untuk mengisi kolom agama atau kepercayaannya di KTP, apupun agama atau kepercayaan yang diyakininya. Sehingga tidak hanya penganut dari 6 (enam) agama atau kepercayaan saja yang harus dicantumkan tetapi harus ada terobosan hukum baru dengan mengakui agama atau kepercayaan yang telah ada selain yang secara resmi telah diakui oleh Pemerintah, sehingga tidak terjadi dikriminasi terhadap penganut agama atau kepercayaan diluar yang telah diakui secara resmi oleh negara. Ini merupakan wujud dari pengakuan Negara atas jaminan hak untuk menganut dan menjalankan agama atau kepercayaan yang diyakininya. Tentu saja pengakuan terhadap agama atau kepercayaan diluar agama atau kepercayaan resmi yang telah diakui oleh negara haruslah memenuhi syarat-syarat yang ketat dan terukur sehingga tidak menimbulkan keresahan dan mengganggu ketertiban serta keamanan dimasyarakat.

Sedangkan wacana penghapusan atau pengosongan kolom agama adalah suatu wacana yang jelas-jelas bertentangan dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa yang telah secara tegas dianut sebagai prinsip dan pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara yang tercantum secara jelas di dalam Pancasila dan UUD Tahun 1945.

Solusi Kedepan

Kolom agama dalam KTP adalah penting, hal ini untuk menunjukkan bahwa negara kita bukan negara sekuler walaupun juga bukan merupakan negara agama. Identitas agama setiap orang sangat penting terkait dengan beberapa aspek dalam kehidupan seorang warga negara, seperti pernikahan, tata cara bergaul, dan urusan kematian. Penghapusan atau pengosongan kolom agama bisa menimbulkan penafsiran sekaligus pengakuan secara tidak langsung oleh negara bagi penganut atheisme di Indonesia, yang bertentangan dengan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.

Sehingga kedepan sebaiknya pemerintah mengambil beberapa terobosan, pertama, wacana penghapusan atau pengosongan kolom agama adalah suatu wacana yang jelas-jelas bertentangan dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi prinsip dan pedoman dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang tercantum secara jelas di dalam Pancasila dan UUD Tahun 1945, untuk itu pemerintah harus memiliki sikap tegas dengan menolak wacana dimaksud.

Kedua, pemerintah dan DPR harus segera merevisi ketentuan Pasal 64 ayat (5) UU Adminduk yang menjadi dasar bagi pencatatan identitas seseorang yang salah satunya adalah agama, tidak hanya terhadap warga negara penganut Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu, tetapi juga terhadap warga negara yang menganut agama atau kepercayaan diluar yang telah diakui secara resmi oleh Pemerintah.

Ketiga, harus ada terobosan hukum baru dengan mengakui agama atau kepercayaan yang telah ada selain yang secara resmi diakui oleh negara. Sehingga tidak ada dikriminasi sekaligus juga merupakan pengakuan dari negara terhadap penganut agama atau kepercayaan diluar yang telah diakui secara resmi. Ini merupakan wujud dari pengakuan dan jaminan negara atas hak untuk menganut dan menjalankan agama atau kepercayaan yang diyakininya. Tentu saja pengakuan terhadapa agama atau kepercayaan diluar agama atau kepercayaan yang telah diakui oleh negara haruslah melalui syarat-syarat yang ketat dan terukur, sehingga tidak menimbulkan keresahan, serta tidak mengganggu keamanan dan ketertiban dimasyarakat.

Penulis adalah Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan (Legislative Drafter) Bidang Industri dan Perdagangan di Sekretariat Jenderal DPR RI sejak tahun 2003 sampai sekarang.
.



 
   Berita Terkait > E-KTP
 
  MK Sahkan Suket Perekaman e-KTP Sebagai Syarat Pencoblosan Pemilu 2019
  Susah Bikin E-KTP, KK, KIA? WhatsApp Aja!
  Wacana Penghapusan atau Pengosongan Kolom Agama pada KTP
  Demi Memahami Soal Kependudukan Mahasiswa Uncen Dibekali Materi e-KTP
  DPR (UU Adminduk) E-KTP Berlaku Untuk Seumur Hidup
 
ads1

  Berita Utama
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

 

ads2

  Berita Terkini
 
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2