JAKARTA, Berita HUKUM - Pada tanggal 28 Februari 2015, Indra Pelani (21 tahun) dikabarkan tewas. Indra Pelani adalah anggota Serikat Petani Tebo (SPT) yang tewas dalam penyerangan yang dilakukan oleh Tim URC security PT. WKS di wilayah konsesi PT. WKS (kronologi terlampir). WALHI mengutuk keras pembunuhan yang dilakukan terhadap Indra Pelani.
WALHI menyambut baik proses hukum yang dilakukan oleh aparat Kepolisian, namun proses hukum ini mesti dilihat sebagai jalan bagi Negara untuk membongkar kejahatan struktural yang dilakukan oleh PT. WKS. Bagi WALHI, ini bukanlah tindak kejahatan/pidana biasa, namun pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dimana hak hidup Indra Pelani dihilangkan melalui cara-cara penyiksaaan.
Apa yang dialami oleh Indra Pelani, tidak bisa dilepaskan dari aktivitas yang dilakukan selama ini bersama-sama dengan masyarakat Desa Lubuk Mandrasah Jambi yang memperjuangkan hak atas tanah dan sumber-sumber kehidupannya yang selama ini dirampas oleh PT. WKS.
Tindak kekerasan yang dilakukan oleh PT. WKS ini sudah berkali-kali dilakukan. Dalam catatan WALHI, khusus untuk di Jambi pada perusahaan yang sama, Ahmad Adam, 45 tahun, warga Desa/Kecamatan, Kabupaten Tanjungjabung Barat, Jambi, tewas dibunuh oleh aparat Brimob POLRI pada 11 Agustus 2010. Kami menilai bahwa cara-cara pengamanan di HTI/perkebunan sudah dilakukan secara berlebihan. Selama ini pendekatan keamanan dipilih dan dilakukan oleh perusahaan, sementara itu negara membiarkan praktek-praktek ini terus terjadi sehingga dapat dipastikan pelanggaran Hak Asasi akan terus terjadi bahkan meluas di Indonesia. Pola pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang seringkali dilakukan oleh PT. WKS (APP) adalah dengan menggunakan pendekatan keamanan dalam seluruh wilayah konsesi bisnisnya baik di perkebunan HTI maupun perkebunan sawit yang masih sarat dengan tindakan kekerasan. Jika sebelumnya, perusahaan menggunakan aparat Kepolisian (Brimob) untuk pengamanannya, kini menggunakan Tim URC dari PT. Manggala Cipta Persada.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Abetnego Tarigan menyatakan bahwa “Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai pihak yang mewakili Negara yang memberikan izin kepada perusahaan, harus bertanggungjawab atas hal ini, dalam konteks bagaimana KLHK melihat pengelolaan konsesi PT. WKS. KLHK sesuai dengan kewenangannya harus segera meminta kepada PT. WKS dan induk perusahaan (APP) untuk menjelaskan seluruh konflik yang dihadapi perusahaan dengan masyarakat, serta meminta penjelasan perusahaan terhadap upaya penyelesaian konflik dan menjelaskan penanganan keamanan perusahaan. KLHK harus segera menyelesaikan seluruh kasus-kasus di konsesi HTI”.
Selama ini, konflik masyarakat dan korporasi yang terus berlanjut dan tidak bisa diselesaikan secara berkeadilan, dikarenakan Negara melepaskan tanggungjawabnya atas kuasa kelola wilayah dan sumberdaya alam ke perusahaan. Luas kawasan hutan Jambi berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan (No.421/kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999) adalah 2.179.440 hektar. PT. Wirakarya Sakti WKS (APP) telah menguasai 293.812 Ha kawasan hutan Jambi dengan komposisi untuk Kabupaten Tanjung Jabung Barat seluas 138.669 Ha, Kab. Tanjung Jabung Timur 48.507 Ha, Kab. Batanghari 76.691 Ha, Kab. Muaro Jambi 13.029 Ha dan Kab. 16.916 Ha.
Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi menambahkan bahwa “PT. WKS (APP) harus bertanggungjawab atas peristiwa kematian yang dialami Indra Pelani. Kami juga mempertanyakan unit reaksi cepat (URC) yang digunakan oleh PT. WKS dalam mengamankan investasi mereka, yang beroperasi dengan praktek yang bukan hanya buruk, tapi juga di luar batas-batas kemanusiaan. Dari kasus ini, Pemerintah juga harus memastikan upaya penegakan hukum terhadap PT. WKS atas pengelolaan wilayah konsesi yang telah mengakibatkan konflik dan tewasnya masyarakat”.
Sebagai bentuk tanggungjawab korporasi terhadap pemenuhan hak asasi manusia, maka PT. WKS(APP) harus menghentikan sistem dan praktek-praktek pengamanan di seluruh wilayah konsesinya yang berwatak militeristik, yang menggunakan pendekatan kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Atas hal ini, WALHI meminta kepada Komnas HAM untuk melakukan investigasi secara menyeluruh terkait kasus ini dan memastikan Kepolisian Daerah Jambi untuk mengusut tuntas kasus ini, serta melakukan evaluasi terhadap sistem pengamanan di konsesi APP.
WALHI berpandangan bahwa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT. WKS (APP ) puncak gunung es dari problem sosial di kawasan HTI, dan menunjukkan bahwa komitmen-komitmen lingkungan hidup tanpa didukung dengan komitmen penyelesaian konflik-konfliks sosial adalah kamuflase. Demikian rilis pers yang diterima Redaksi di Jakarta dari Kurniawan Sabar, Manager Kampanye, Eksekutif Nasional WALHI pada, Rabu (4/3).(wlh/bhc/sya) |