JAKARTA, Berita HUKUM - REDD+ merupakan inisiatif yang muncul sebagai tawaran mitigasi perubahan iklim disektor hutan pada pertemuan UNFCCC di Bali tahun 2007, sejak saat itu konsep REDD+ banyak mendapat dukungan khususnya Annex 1 atau negara industri maju. Di Indonesia, REDD mulai menjadi fokus pemerintah sejak tahun 2007, melalui Permenhut dan pembentukan Pokja REDD untuk merespon keputusan COP 13 di Bali. Permenhut 2007 ini diperbaharui dengan Permenhut No. 30/Men-II/2009 tentang REDD dan Permenhut P.36 tahun 2009.
Direktur Eknas WALHI, Abetnego Tarigan menerangkan, “Negara industri maju dan beberapa negara berkembang termasuk Indonesia menjadikan REDD+ sebagai win win solution terhadap target penurunan emisi gas rumah kaca global sebagaimana mandat protokol Kyoto. Bagi negara berkembang, inisiatif ini ditangkap sebagai peluang untuk pembiayaan sekaligus upaya penyelamatan hutan. Sedangkan, bagi petani dan masyarakat adat, serta masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar hutan, konsep REDD+ merupakan lose lose solution, utamanya disebabkan karena tidak diakuinya hak masyarakat adat dan pengelolaan hutan secara tradisional, apalagi jika penerapan REDD+ tidak dibarengi dengan safeguard yang ketat untuk melindungi hak-hak petani, masyarakat adat dan hak masyarakat dalam menentukan nasib sendiri.
Awalnya, pembentukan Satgas REDD+ dibawah “pengampuan” UKP4. Presiden Republik Indonesia melalui Peraturan Presiden No.62 tahun 2013 (2 September 2013) membentuk Badan (Kelembagaan) REDD+. Eksekutif Nasional (EKNAS) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) membedah secara kritis terkait kelembagaan Badan Pengelola (BP) REDD+ di Indonesia dalam bentuk Diskusi Publik Nasional. Diksusi bertajuk “Membedah kelembagaan REDD+; Fungsi, Peran, dan Basis Legalitas Badan REDD+” ini akan dilaksanakan pada tanggal 09 Mei 2014.
“WALHI memandang bahwa kelembagaan tersebut belum mampu berjalan dengan baik dikarenakan pembangunan struktur BP REDD+ berjalan sangat lamban. Disisi lain, fungsi, peran, dan basis legalitas satgas REDD+ dianggap tidak cukup kuat dalam mewujudkan harapan tata kelola hutan yang lebih baik ditengah berbagai kontroversi terkait substansi REDD+ itu sendiri,” tegas Abetnego Tarigan.
Nurhidayati, Kadept. Advokasi Eknas WALHI menambahkan, “penting untuk membedah secara kritis terkait kelembagaan REDD+ (peran, fungsi, dan legalitas) untuk memastikan apakah skema kerja badan ini menjadi bagian dari upaya yang serius dalam mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan berkelanjutan ataukah justru hanya menjadi bagian dalam skema REDD+ yang sampai saat ini ditafsirkan sebagai the new scheme of land grabbing untuk memenuhi tujuan perdagangan karbon (carbon trading).”
Dia menambahkan, “informasi yang diperoleh sejauh ini, BP REDD+ telah bekerjasama di 11 propinsi di Indonesia. Di setiap propinsi tersebut telah dibentuktask force, bahkan beberapa daerah diantaranya sudah mendorong satuan tugas ini menjadi Komisi Daerah REDD+. Tujuan utamanya memang untuk perdagangan karbon.”
Penyelenggaraan Diskusi Publik ini akan menghadirkan beberapa narasumber, yakni Ketua BP REDD+ (Heru Prasetyo), pakar hukum tata negara (Deni Bram), Direktur WALHI Kalimantan Tengah (Arie Rompas) dan akademisi. Dalam pemaparannya, Manager Kampanye Eknas WALHI menerangkan, “Pihak pemerintah, swasta, perwakilan organisasi masyarakat sipil, dan mahasiswa yang menjadi peserta dalam diskusi publik ini diharapkan berperan aktif. Sehingga, diskusi ini dapat menjadi ruang yang kritis dan objektif dalam memahami tugas dan kewenangan BP REDD+ dan kemajuan yang diperoleh sejak dikeluarkannya Perpres No. 62 tahun 2013, hubungan implementasi REDD+ dengan upaya pengukuhan kawasan hutan dan pemenuhan hak tenurial masyarakat, serta mampu melahirkan rekomendasi kepada pemerintah sebagai bentuk kontribusi masyarakat sipil dalam membangun strategi penurunan emisi gas rumah kaca.”
Lebih lanjut diterangkan, “Secara umum, Diskusi Publik ini diharapkan menjadi bagian dari upaya mewujudkan perlindungan dan pengelolaan hutan yang adil dan berkelanjutan. Kita tidak ingin ada skema pengelolaan hutan atau upaya mitigasi yang justru hanya memebrikan keuntungan bagi segelintir pihak dan menjadi skema baru perampasan tanah dan mengabaikan hak-hak petani, masyarakat adat, serta masyarakat di sekitar kawasan hutan dalam mengelola sumber-sumber kehidupannya.” Tegas Kurniawan Sabar, yang sekaligus sebagai koordinator pelaksana diskusi publik ini Jum’at (9/5) di Hotel Puri Denpasar, Kuningan, Jakarta.(wlh/bhc/sya) |