Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Opini Hukum    
Media
'Menyoal' Independensi Media Jelang Pilpres 2014
Tuesday 24 Jun 2014 13:16:24
 

Khairu Syukrillah.(Foto: Istimewa)
 
Oleh: Khairu Syukrillah

HANGAT RASANYA ketika kita (selaku masyarakat awam) membicarakan kembali semua informasi jelang pilpres yang kita terima melalui media massa (televisi, cetak, dan lain-lain) baik di warung kopi, dengan keluarga maupun dengan teman sejawat di tempat kerja. Namun seawam-awamnya kita selaku rakyat pastinya memahami bahwa media tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang ada dibalik informasi yang disampaikan. Minimal pemahaman tentang tiga kepentingan utama media yaitu kepentingan ekonomi (economic interest), kepentingan kekuasaan (power interest) serta kepentingan publik. Kepentingan publik inilah sebenarnya yang mendasar dan dalam hal ini media harus memposisikan diri sebagai ruang publik / public sphere yang independen, obyektif serta netral.

Ironinya public sphere / ruang publik malah sering terabaikan yang diakibatkan oleh kuatnya kepentingan ekonomi maupun kekuasaan (kekuasaan politik dan lain-lain). Kuatnya kepentingan tersebut sesungguhnya menjadikan media tidak lagi independen, obyektif, netral, jujur, adil maupun terbuka yang pada akhirnya menimbulkan kebiasan dalam menyajikan informasi baik melalui data maupun yang lainnya, sehingga ada pergeseran makna dari berita (informasi) kepada cerita (bias).

Mengutip pendapat Yasraf Amir Pilliang dalam post realitas, kepentingan ekonomi dan kekuasaan akan menentukan apakah informasi yang disampaikan mengandung kebenaran hakiki (truth), atau kebenaran palsu (psedo-truth); menyampaikan obyektivitas atau subyektivitas; bersifat netral atau berpihak; merepresentasikan fakta atau memelintir fakta; menggambarkan realitas atau menyimulasi realitas dan independen atau tidaknya pemberita media, maka media massa di Indonesia, baik media elektronik maupun cetak, yang dimiliki oleh para pemodal besar sekaligus politisi, mampu menjadi alat propaganda politik yang cukup ampuh, atau setidaknya mampu menenggelamkan persoalan-persoalan complicated dari para pemilik media tersebut guna melicinkan gerak mereka menuju kekuasaan politik jelang pilpres 9 Juli 2014 mendatang.

Ada dua kubu Capres & Cawapres Republik Indonesia yang bertarung hebat di media jelang pilpres kali ini, yang pertama ada kubu nomor urut 1 pasangan Prabowo Subianto & Hatta Rajasa, kita sangat pahami bersama siapa saja aktor politik yang juga pemilik modal media dibalik mereka, salah satunya ada Aburizal Bakrie yang merupakan ketua umum Partai Golkar yang telah mengazamkan diri untuk berkoalisi dengan pasangan tersebut, kita pahami bersama bahwa Ical adalah pemilik kelompok usaha Bakrie and Brothers yang merupakan pemegang saham utama TV One, ANTV serta Vivanews.com. Tentu saja secara pengamatan awam selaku masyarakat penikmat media aktif sangat paham bahwa Aburizal Bakrie melalui media-nya sangat mendominasi pemberitaan tentang pasangan nomor urut 1 itu.

Disisi yang lain, ada juga pasangan nomor urut 2 yang diduduki oleh pasangan Joko Widodo & Jusuf Kalla yang tak kalah hebatnya dalam melakukan pencitraan di media, terutama media karib koalisinya seperti Metro TV atas nama Surya Paloh sebagai pemegang saham utama yang sah dan juga merupakan ketua umum Partai Nasdem yang juga telah menandatangani koalisi bersama untuk mendukung pasangan capres & cawapres nomor urut 2 itu.

Dibalik kepemilikan media-media para aktor politik yang telah disebutkan tadi juga tidak terlepas dari kolaborasi media yang lain, seperti yang dimiliki oleh kelompok Hary Tanoe Soedibjo (RCTI, Global TV, Sindo TV, MNC TV, Koran Sindo, Trust, MNC Radio, serta sejumlah jaringan media lokal) tentu akan berada di belakang salah satu pasangan Capres & Cawapres, karena baru-baru ini Hary Tanoe soedibjo juga telah mendeklarasikan ‘Laskar Haritanoe’ untuk mendukung salah satu pasangan dari capres & cawapres tersebut. Kemudian ada kelompok Jawa Pos yang hingga kini kita ketahui bersama bahwa jaringan media mereka di daerah-daerah juga cukup kuat. Kelompok media ini didirikan, dikelola dan dibesarkan oleh Dahlan Iskan, yang kini Menteri Negara BUMN dan dari informasi media juga telah berada di belakang barisan salah satu pasangan.

Kini masyarakat pada umumya berada diantara dua kepentingan utama media, yang menjadikan mayoritas masyarakat untuk diam, tidak memiliki kekuatan maupun kekuasaan dalam membangun dan menentukan informasi milik mereka sendiri (hak pendapat). Hegemoni dan politik media inilah yang mesti diseimbangkan dengan kepentingan publik yang pada dasarnya publik memposisikan diri sebagai pemilik informasi. Media berkewajiban untuk menyajikan liputan secara berimbang (cover both side), check and rechech serta balancing reporting. Artinya rakyat berhak mendapatkan informasi yang jujur, benar tanpa dilebih-lebihkan serta terlepas dari kepentingan manapun (politik, konflik media dan lain-lain). Disisi lain, lemahnya pemahaman tentang content analisis, wacana maupun framing, juga salah satu penyebab rakyat kita menerima secara “mentah” sebuah informasi yang disajikan. Ketika media tidak mampu mengemas sebuah realitas secara obyektif, netral dan independen dikhawatirkan akan terjadi konflik yang dalam masyarakat.

Harus diakui bahwa media memiliki kekuatan yang mampu mengarahkan pemikiran masyarakat awam mulai dari proses pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pemilihan angle (sudut pandang), penambahan atau pengurangan foto serta gambar (editing) dan lainnya. Dengan demikian sebenarnya media punya potensi untuk jadi peredam, pencerah atau pun pendorong munculnya konflik. Media bisa memperjelas serta mempertajam konflik atau sebaliknya, mengaburkan dan mengeleminir atau apapun bahasa lainnya yang dimunculkan.
Dalam Ilmu Komunikasi, media mampu merekonstruksi realitas, tapi juga bisa menghadirkan hiperrealitas (keberlebihan) atau realitas semu yang dapat membingungkan rakyat.

Ada tiga posisi media dalam memberitakan sebuah realitas maupun isu yang dapat mendatangkan konflik di dalam masyarakat, yaitu sebagai issue intensifier dimana media berposisi memunculkan isu atau konflik dan mempertajamnya. Dengan posisi sebagai intersifier, media mem-blow up realitas yang jadi isu sehingga seluruh dimensi isu menjadi transparan. Sebagai conflict diminisher, yakni media menenggelamkan suatu isu atau konflik. Secara sengaja media meniadakan isu tersebut, terutama bila menyangkut kepentingan media bersangkutan, bisa kepentingan ideologis atau fragmatis. Selain itu juga media dapat memposisikan diri sebagai conflict resolution, yaitu media menjadi mediator dan fasilitator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif serta mengarahkan para pihak pada penyelesaian dan berita yang seimbang. Untuk menjadi media yang independen, obyektif dan dapat menjadi Conflict resolution, media mesti menerapkan pola penyelidikan (investigation) dan pola ini masih belum semua media mampu menerapkannya.

Sebagai rakyat / audience media, kita mesti mampu untuk bersikap kritis. Tidak ada lagi bersikap secara “polos dan lugu” menerima begitu saja pesan-pesan yang disampaikan media. Apa yang tampak dipemukaan, berita di suratkabar, dengar di radio, media online atau saksikan di layar televisi, mungkin tidak menampilkan seluruh realita, untuk tidak mengatakan bahwa tampilan permukaan itu mungkin justru sengaja dirancang untuk mengecoh publik.

Harapan kita selaku masyarakat awam, jangan sampai media tidak lagi memiliki fungsi sebagai penyampai informasi yang akurat, benar, dan berimbang. Namun, media lebih difungsikan sebagai alat propaganda, pengarah, dan penggalang massa untuk kepentingan politik. Ketika media tidak mampu mengemas sebuah realitas secara obyektif, maka dianggap tidak independen. Independensi media diterjemahkan sebagai sebuah kerja yang bebas kepentingan, netral sepenuhnya, obyektif serta melihat peristiwa secara makro. Sejatinya media yang bisa meraih kepercayaan publik adalah mereka yang mendedikasikan kerja profesionalismenya pada kepentingan publik. Itulah yang disebut independensi media. Secara teoritis sistem siaran publik tidak lah bebas, tetapi biasanya terdapat aturan pelindung penjamin adanya independensi kebijakan dan profesionalisme tertentu.

Karena itu, sebagai konsumen informasi, hendaknya kita harus pintar-pintar menyaring informasi yang masuk. Ketika sebuah media terafiliasi memberitakan figur atau kegiatan kelompok politiknya, itu hanya bentuk pencitraan atas Partainya. Begitu juga ketika yang disudutkan adalah lawan politiknya, kecuali sepanjang yang diungkap sebatas fakta tanpa ditambahi opini. Mata publik politik yang terkonsentrasi pada media terkemuka di Indonesia ini sangat memungkinkan bagi politisi pemilik media tersebut untuk memainkan opini publik. Pasti media tersebut akan menyangkal tuduhan ini dan mengatakan bahwa mereka hanyalah cermin bagi publik. “Media sebagai cermin bagi publik” adalah mitos yang menyesatkan. Karena faktanya, media mampu memainkan peran dalam menetapkan agenda-agenda pemberitaan mengenai politik, menentukan apa berita politik yang akan dibahas hari ini, berapa banyak, dalam konteks apa dan untuk kepentingan siapa (agenda setting media).

Pelaku propagandis sangat berpengaruh dalam menyampaikan misi propagandanya, jika menggunakan media. Sehingga dalam ranah politik di negeri ini, tidak menutup kemungkinan, para pemilik media besar, dapat dengan mudah mempengaruhi opini publik, dan berhasil menyampaikan misi propagandanya kepada rakyat awam melalui media yang ia miliki sehingga kedudukan setrategis dalam ring politik dapat dengan mudah di kuasai oleh mereka. Jika memang inilah realitas propaganda perpolitikan di negeri ini, kita tidak dapat berbuat banyak, namun selaku bagian dari rakyat awam maupun publik yang cerdas, kita harus mampu memilah dan cerdas memilih.

Begitu juga para aktor politik maupun pelaku utama propaganda politik yang juga merupakan konglomerat media, cerdaslah dalam menyampaikan informasi serta mempengaruhi rakyat agar infromasi yang terpatri dalam pikiran publik bukan opini yang negatif. Serta adanya pemahaman, bahwa media yang dimiliki bukan sebagai alat yang digunakan dengan mudahnya untuk menyebarkan propaganda politik, demi kedudukan maupun kekuasaan sesaat, namun ingat juga akan fungsi media yang utama yaitu sebagai kontrol sosial, bukan media yang di kontrol oleh sosial.(ks/bhc/sya)

Penulis adalah alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh-Lhokseumawe, Peneliti, dan Penikmat Media ( khairuatjeh@gmail.com )



 
   Berita Terkait > Media
 
  LKPP Terima Pengaduan WAKOMINDO Terkait Diskriminasi Kerjasama Media di Pemerintahan Daerah
  Biro PP Lakukan 'Media Visit' Massifikasi Informasi Kinerja DPR dan Persiapan IPU
  Perselisihan Kapolrestro Depok-Wartawan Dimusyawarahkan, Kompolnas: Media Membantu Polri
  Ketua Forwaka Laporkan Alfian Biga ke Polda Gorontalo
  Direktur Intelkam Polda Metro Jaya Ungkap Peran Penting Media di Masa Pandemi Covid-19
 
ads1

  Berita Utama
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

 

ads2

  Berita Terkini
 
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2