JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Komisi VII DPR RI kecewa dan geram atas peristiwa masuknya 118 kontainer yang berisikan ribuan ton limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Dan meminta pertanggung jawaban PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia sebagai pelaksana teknis.
“ Ini bagaimana bisa terjadi, memangnya Surveyor Indonesia dan Sucofindo tidak mengecek surveyor dari luar negeri yang mengeksport barang,” ujar salah satu Anggota Komisi VII DPR, Alimin Abdullah saat rapat dengar pendapat dengan Dirjen Bea dan Cukai, Deputi IV Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perindustrian RI, Dirut PT Sucofindo dan Dirut Surveyor Indonesia di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Selain dua perusahaan BUMN tersebut, Alimin juga kecewa atas lambannya kinerja Bea dan Cukai serta KLH. “Kalo tidak salah barang ini masuk akhir November tetapi Bea dan Cukai baru meminta KLH untuk melihat barang tanggal 17 Januari, dan KLH kenapa baru melapor setelah 3 minggu kemudian,” tuturnya.
Menurut Alimin berdasarkan UU no.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengolalaan Ligkungan Hidup, limbah B3 harus segera di Re-ekspor paling lambat Sembilan puluh hari dari tanggal masuknya barang. “Ini terus terang tanda-tanda bahwa mereka melanggar, bahkan sudah banyak kontainer yang tertahan, bayangkan saja 2000 kontainer. Dengan waktu 90 hari, untuk itu saya kira harus segera di re-ekspor, jangan melalui pengadilan dan jalur yang lain-lain karena akan memakan waktu,” jelasnya.
Bukan saja Alimin yang kecewa, anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrat, Jhonny Allen Marbun menyarankan agar kedua BUMN tersebut mendapat sanksi administratif. “menyarankan kepada Pimpinan agar memberikan teguran keras atau hukuman administratif kepada Sucofindo dan Surveyor Indonesia sebagai pelaksana verifikasi pelaksanaan teknis, serta memBlacklist Surveyor luar negeri yang terlibat dalam kasus ini,” tuturnya.
Di kesempatan yang sama Dirut PT Sucofindo, Arief Safari menyatakan pihaknya kecolongan atas laporan Surveyor luar negeri. “patut kami akui bahwa kami kecolongan, jadi ada beberapa teknis yang harus dilakukan pihak surveryor luar negeri, yaitu mengambil beberapa photo dan melakukan pengecekan fisik dilapangan. Dan photo itu harus diperiksa oleh KLH supaya apakah barang ini bisa masuk apa tidak,” jelasnya.
Sedangkan Dirut Surveyor Indonesia, Fahmi Sadiq menyatakan kesulitan mengecek kebenaran data yang dilporkan oleh surveyor dari luar negeri. “Kami kesulitan untuk mengecek kebenaran data yang dilaporkan oleh surveyor dari luar negeri,” sanggahnya.
Fahmi pun menjelaskan, sebelumnya pihaknya mengusulkan untuk mengunakan empat surveyor luar negeri untuk import limbah. Tetapi hal itu tidak disepakati oleh para importer. Malahan importer mengajukan 70 Surveyor. Sehingga pihaknya mengadakan negosiasi ulang kepda importer, dan disepakati 30 surveyor luar negeri yang bisa dijadikan landasan untuk mengadakan import.
“Padahal di SOP (Standard Operating Prosedur) sudah kami perketat, tetapi karena jumlah surveyornya banyak jadi kami sulit untuk mengeceknya,” jelas Fahmi.
Seperti diketahui, Petugas Bea Cukai menyita 118 peti kemas yang berisi limbah yang diduga mengandung bahan beracun dan berbahaya (B-3). Peti kemas ini dibawa masuk oleh 4 importir asal Indonesia, yaitu PT PKM, PT IWS, PT TIS, dan PT GG. (bhc/biz)
|