JAKARTA, Berita HUKUM - Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Alia Harumdani Widjaja menerima 70 mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (7/11) lalu. Pada kesempatan itu, Alia menerangkan sejarah MK di dunia dan Indonesia.
"Sebanyak 70% Undang-Undang yang dibuat oleh legislatif sarat dengan kepentingan politik," ujar Alia yang didampingi Dosen FH Universitas Muhammadiyah Jakarta Dwi Putri.
Dengan demikian, kata Alia, kadang-kadang pembuat Undang-Undang tidak mempertimbangkan norma-norma dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Karena itu diperlukan mekanisme perlindungan terhadap muatan Undang-Undang yang mengatur tentang hak-hak warga negara.
"Salah satu bentuk upaya perlindungannya adalah pengujian Undang-Undang. Sebab Undang-Undang berpotensi bertentangan terhadap hak-hak dasar warga negara yang telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945," ucap Alia yang juga menjelaskan bahwa pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan secara umum disebut judicial review. Hal ini untuk membedakan dengan executive review dan legislative review.
Alia juga menerangkan sejarah judicial review yang bermula dengan Kasus Marbury vs Madison (1803). Pada intinya, apa yang dimohonkan Pemohon dalam kasus tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat. "Tapi dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung Amerika Serikat memberikan pendapat mengenai pembatalan Judiciary Act 1789 yang dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat," jelas Alia.
Ide judicial review kemudian berkembang hingga ke daratan Eropa. Pada 1920 pakar hukum Austria, Hans Kelsen merespons gagasan judicial review dan melembagakan ke dalam bentuk lembaga tersendiri di luar Mahkamah Agung (MA) dengan membentuk Mahkamah Konstitusi Austria tahun 1920. "Di Austria ada usul agar dibuat kewenangan MK namun di luar peradilan MA. Jadi tidak satu tubuh," imbuh Alia.
Alia menjelaskan latar belakang dibentuknya MK di Indonesia berdasarkan amandemen UUD 1945 pada 2001. Kemudian resmi dibentuk MK Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003.
Lebih lanjut, Alia menerangkan persidangan MK bermula dengan sidang pemeriksaan pendahuluan, berlanjut ke pemeriksaan persidangan, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), hingga pengucapan putusan. Sebelum sidang pengucapan putusan, para hakim konstitusi melakukan RPH yang bersifat tertutup atau rahasia. Kemudian barulah digelar sidang pengucapan putusan yang sifatnya terbuka, boleh diketahui publik secara luas.
Alia juga menerangkan cara membuat permohonan uji Undang-Undang di MK. Permohonan dibuat sebanyak 12 rangkap dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam permohonan diuraikan jenis perkara terkait salah satu kewenangan MK. "Apa tujuan permohonan, untuk melakukan pengujian Undang-Undang atau permohonan sengketa kewenangan lembaga negara atau gugatan untuk melakukan pembubaran partai politik. Dalam permohonan disebutkan identitas Pemohon, nama lengkap, pekerjaan dan alamatnya. Juga diuraikan kerugian konstitusional Pemohon, termasuk juga hal-hal yang diminta Pemohon untuk diputus atau petitum. Misalnya, membatalkan ketentuan sebuah Undang-Undang dan lainnya," imbuh Alia.
Pada kesempatan itu, Alia mengungkapkan fungsi MK sebagai pengawal Konstitusi, penafsir Konstitusi, pelindung hak asasi manusia, pelindung hak konstitusional warga negara dan pelindung demokrasi. Sedangkan kewenangan MK adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. "Sebelum masuk ke permohonan, perlu diketahui dulu kedudukan hukum Pemohon. Bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Pemohon adalah yang memiliki kualifikasi harus warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, badan hukum privat, serta lembaga negara," ungkap Alia.
MK juga berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Selain itu MK berwenang memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, serta wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela.(NanoTresnaArfana/LA/MK/bh/sya)
|