Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
White Crime    
Tipikor
Pengadilan Tipikor Bebaskan 71 Koruptor
Thursday 23 Aug 2012 19:31:24
 

Pengadilan Tipikor Semarang (Foto: Ist)
 
SEMARANG, Berita HUKUM - Keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah, ternyata menjadi batu sandungan upaya pemberantasan korupsi. Sedikitnya 71 koruptor divonis bebas oleh hakim. Selain kerap memvonis bebas terdakwa korupsi, sejumlah hakim Pengadilan Tipikor di daerah juga terlibat kasus suap.

Demikian data yang dilansir Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang diperoleh SP, Selasa (22/8), terkait dengan dua hakim Pengadilan Tipikor, yakni Kartini Marpaung dan Heru Kisbandono, yang tertangkap tangan menerima suap di Semarang.

ICW menyebutkan, vonis bebas bagi sedikitnya 71 terdakwa kasus korupsi itu dijatuhkan oleh hakim di 15 Pengadilan Tipikor. Ditambahkan, kalaupun memvonis bersalah, penjatuhan pidana penjara bagi terdakwa kasus korupsi masih tergolong rendah, rata-rata 1-2 tahun penjara.

Hingga saat ini, belum ada koruptor yang divonis penjara di atas 10 tahun oleh Pengadilan Tipikor di daerah. Selain itu, vonis penjara juga ada yang tidak disertai perintah penahanan terhadap terpidana. Bahkan, ada hakim yang mengenakan tahanan kota kepada terpidana.

Untuk itu, Koalisi mendesak jajaran pengadilan untuk tidak kompromi dengan koruptor, dengan cara menjatuhkan pidana penjara maksimal dan perintah penahanan. Seiring dengan itu, melarang hukuman dengan masa percobaan atau vonis tanpa perintah penahanan.

Koalisi juga mendesak untuk dilakukan koreksi terhadap putusan bebas kasus korupsi pada pengadilan tingkat pertama yang dianggap kontroversial. Mahkamah Agung(MA) diminta bekerja sama dengan Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi dan mengevaluasi secara berkala terhadap kinerja hakim ad hoc Pengadilan Tipikor di daerah.

Bermasalah

Terkait dengan penangkapan Kartini Marpaung dan Heru Kisbandono oleh KPK pada Jumat (17/8) lalu, sejumlah kalangan menilainya sebagai cermin bahwa keberadaan Pengadilan Tipikor di daerah menimbun masalah besar. Untuk itu, tertangkapnya Kartini dan Heru saat menerima suap dari pengusaha Sri Dartuti dengan barang bukti uang tunai Rp 150 juta, harus dijadikan momentum mengevaluasi kembali Pengadilan Tipikor di daerah, dan mengoreksi proses perekrutan hakim ad hoc Tipikor.

Demikian rangkuman pandangan praktisi hukum Frans Hendra Winarta, peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada Hifdzil Alim, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji, mantan hakim agung Asep Iwan Iriawan, mantan Ketua MA Harifin Tumpa, pakar hukum pidana dari Universitas Padjajaran Bandung Yesmil Anwar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Ashidiqqie, serta dua anggota Komisi III DPR Didi Irawadi dan Ahmad Yani, secara terpisah, Selasa (21/8) dan Rabu (22/8).

Menurut Frans Hendra Winarta, peristiwa tangkap tangan dua hakim ad hoc Pengadilan Tipikor menandakan reformasi lembaga peradilan belum berjalan. Dia juga menilai pengawasan internal dan eksternal juga belum maksimal.

"Peristiwa ini memberi sinyal kepada kita bahwa memang benar reformasi kedalam lembaga peradilan kita mutlak diperlukan. Ini merupakan conditio sine quanon (syarat yang harus dipenuhi, Red) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pengawasan internal dan eksternal mutlak diperlukan", kata Frans.

Menurut Frans, pengawasan sejauh ini masih belum efektif, baik oleh MA maupun KY. Bahkan, kedua lembaga tersebut cenderung lebih sering terlibat adu kewenangan dalam mengawasi perilaku para hakim.

"Peristiwa penangkapan dua hakim Tipikor adalah kejadian menyedihkan. Justru hakim yang dipercaya memberantas korupsi terlibat kejahatan yang seharusnya dia berantas dan dia hukum," tandasnya.

Menurutnya, jika muncul wacana pembatasan Pengadilan Tipikor di daerah tidak memberi solusi. Karena dapat mengurangi efektivitas pemberantasan korupsi. Seharusnya, penyebab terjadinya korupsi harus dicari dan dibenahi. "Antara lain gaji hakim terlalu kecil. Di Singapura gaji hakim senior 50.000 dolar Singapura, ditambah bonus kalau putusan-putusannya tidak dianulir Mahkamah Agung. Seorang hakim bisa hidup nyaman, bebas bujukan korupsi dan tidak ada alasan korupsi apalagi status sosialnya tinggi," katanya.

Hifdzil Alim juga menilai lemahnya pengawasan di kalangan hakim. "Jika pengawasan berjalan maksimal tentu tidak akan ada kasus hakim nakal. Jadi, efek jera itu dibutuhkan kalau pengawasan tidak efektif", katanya.

Sementara itu, Indriyanto Seno Adji berpendapat, persoalan korupsi oleh hakim bukan menandakan lemahnya aspek pengawasan dan perekrutan, melainkan lemahnya integritas. Pengawasan internal yang dilakukan MA maupun pengawasan eksternal yang dilakukan KY tidak menjamin tegaknya integritas para hakim.

"Jadi masalahnya bukan pola perekrutan tapi masalahnya kembali pada integritas hakim itu sendiri. Pola pengawasan internal dan eksternal tidak akan bisa menjangkau masalah integritas seseorang, termasuk hakim. Bahkan KPK, Polri, Kejaksaan ataupun lembaga kenegaraan akan mengalami kesulitan dalam hal pembangunan integritas personal", katanya.

Asep Iwan Iriawan juga berpendapat demikian. Adanya praktik korupsi oleh hakim bukan menandakan lemahnya pengawasan dan perekrutan, melainkan lebih kepada watak dan moral oknum tersebut.

"Pengawasan dan perekrutan ketat dan kuat pun, kalau watak, otak, dan tekadnya jadi hakim untuk jadi bandit, ya tetap percuma. Kembali ke pribadi hakim itu sendiri jadi pengadil atau perampok," katanya.

Dia berpendapat, sebaiknya Pengadilan Tipikor cukup di Jakarta. Guna menghindari penumpukan berkas, seluruh hakim Tipikor diwajibkan bertugas di Jakarta.

Sedangkan, Yesmil Anwar melihat belum ada kemajuan pada diri para hakim, terutama sikap mental, dan sistem peradilan yang dianggap masih semu.

"Untuk itu, sistem perekrutan hakim perlu diperketat lagi. Kemampuan teknis hukum dan mentalnya harus kuat dan perlunya pengawasan yang ketat dari MA, sehingga menghasilkan hakim yang pandai dan juga jujur. Selama ini reformasi hakim belum memadai," ungkap dia.
Benahi Perekrutan

Sementara itu, Jimly Ashidiqqie mengatakan, kasus suap hakim ad hoc membuktikan para hakim Pengadilan Tipikor belum ideal. Padahal keberadaannya sangat diharapkan, karena kurangnya kepercayaan terhadap hakim yang sudah ada.

"Banyak sekali yang job seeker (pencari kerja), terpaksa kita harus ketat sekali menyeleksinya. Karena itu kita harus evaluasi dan tata ulang seluruh sistem perekrutan hakim dan semua pejabat publik kita," jelasnya.

Anggota Komisi III DPR Didi Irawadi Syamsuddin mengungkapkan, pihaknya akan berkonsultasi dengan MA dan KY mengenai perekrutan para hakim. Dia juga sepakat, untuk sementara Pengadilan Tipikor dipindahkan ke Jakarta, sambil dilakukan evaluasi Pengadilan Tipikor di daerah.

Sedangkan, Ahmad Yani meminta MA segera mengambil tindakan tegas terhadap dua hakim ad hoc yang menerima suap tersebut. Bahkan, MA perlu memecat kedua hakim itu untuk memberikan efek jera terhadap hakim-hakim nakal lainnya.

Menurutnya, Pengadilan Tipikor di daerah sebaiknya dibubarkan. Namun, perlu dibentuk "kamar" di Pengadilan Negeri yang khusus menangani perkara korupsi dengan hakim yang berintegritas.

Sudah Dipantau

Secara terpisah, Ketua Komisi Yudisial (KY) Erman Suparman mengindikasikan masih ada beberapa hakim ad hoc bermasalah. Pihaknya pun berjanji akan mengumumkannya ke publik. "Sekarang Semarang dulu. Yang lain juga ada masih banyak nanti saya kasih tahu lagi," katanya, akhir pekan lalu.

Eman menjelaskan, Kartini dan Heru sudah diincar KPK dan MA. Sebab, informasinya didapat dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Semarang. "Hakim yang satu itu (Heru Kibandono) sudah jarang melaksanakan tugas di tempat tugasnya, malah sering berhubungan dengan hakim di Semarang. Jadi memang ini sudah pemain betul," jelas dia.

Eman yakin, keduanya sudah pasti bersalah tanpa perlu dibuktikan lagi lebih lanjut. "Sudahlah itu dipecat saja, sudah tidak beres dan bisa menularkan virus-virus ketidakberesan di berbagai pengadilan," ucapnya.

Senada dengan itu, Ketua MA Hatta Ali menjelaskan, kedua hakim tersebut telah dipantau sejak lama oleh MA. Terlebih Kartini telah lima kali memutus bebas terdakwa korupsi. Surat Keputusan (SK) pemberhentian bagi keduanya juga telah disiapkan sambil menunggu adanya putusan berkekuatan tetap (inkracht).

Tertangkapnya Kartini dan Heru, lanjut Hatta Ali, merupakan hasil kerja sama MA dengan KPK. Dia berharap, badan anti korupsi itu dapat mengusut tuntas kasus tersebut, terutama Kartini yang diduga "bermain" dengan lima terdakwa yang divonis bebas.

Secara terpisah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mengingatkan, peristiwa tangkap tangan dua hakim ad hoc Tipikor itu dijadikan pembelajaran bahwa hakim ad hoc bukan pekerjaan yang mudah.

"Oleh karena itu seorang hakim dalam Pengadilan Tipikor sekalipun ini harus jadi pembelajaran, enggak boleh instan. Ya kalau instan hasil yang diharapkan juga tidak seperti hasil kinerja itu terkadang sangat jauh dari harapan", katanya, Demikian sebagaimana seperti yang dikutip suara pembaruan.com pada beberapa hari yang lalu.(spb/bhc/opn)



 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
5 dari 6 Orang Terjaring OTT KPK Ditetapkan Tersangka Kasus Proyek Jalan di Sumatera Utara

Pengurus Partai Ummat Yogyakarta Buang Kartu Anggota ke Tong Sampah

Kreditur Kondotel D'Luxor Bali Merasa Ditipu Developer PT MAS, Tuntut Kembalikan Uang

Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

 

ads2

  Berita Terkini
 
Psikiater Mintarsih Ungkap Kalau Pulau Dijual, Masyarakat akan Tambah Miskin

5 dari 6 Orang Terjaring OTT KPK Ditetapkan Tersangka Kasus Proyek Jalan di Sumatera Utara

Psikiater Mintarsih: Masyarakat Pertanyakan Sanksi Akibat Gaduh Soal 4 Pulau

Terbukti Bersalah, Mantan Pejabat MA Zarof Ricar Divonis 16 Tahun Penjara

Alexandre Rottie Buron 8 Tahun Terpidana Kasus Pencabulan Anak Ditangkap

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2