JAKARTA, Berita HUKUM - Selama lima bulan berjalan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menemukan adanya potensi fraud dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Celah ini, dinilai masih terbuka akibat rekomendasi yang dihasilkan sebelumnya, belum dijalankan secara optimal.
Demikian disampaikan Wakil Ketua KPK, Zulkarnain di Auditorium Gedung KPK, Jakarta, di hadapan Dirjen Linjamsos Kementerian Sosial Andi ZA Dulung; Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Andin Hadiyanto; Irjen Kementerian Kesehatan Yudi Prayudha Iskak Djuarsa, Direktur Pengawasan khusus dan Penyidikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sumarjono, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Chazali Situmorang dan Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris.
Zulkarnain menyebut ada lima celah. Pertama, masih ada permasalahan dalam kepesertaan. Persoalan ini merentang, mulai dari rendahnya akurasi data peserta penerima bantuan iuran (PBI), proses perpindahan kepesertaan dari PT Jamsostek (saat ini BPJS ketenagakerjaan) ke BPJS kesehatan (PT Askes) yang tidak lancar, hingga terjadinya tumpang tindih kepesertaan BPJS Kesehatan dengan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
Kedua, kelemahan sistem Indonesia Case Based Groups (INA CBGs). Dari sini, ditemukan sejumlah kasus bahwa RS dan dokter yang melakukan perubahan terhadap diagnosis atau dokumen medis lainnya untuk memperbesar tarif yang didapatkan dari sistem INA-CBGs.
Ia menyayangkan, beberapa perwakilan BPJS Kesehatan di RS tidak diperbolehkan mengakses rekam medis dari pasien untuk menilai kewajaran diagnosis yang dibuat oleh dokter. “Kelemahan ini juga memungkinkan RS membuat pasien harus melakukan rawat jalan lanjutan sehingga Rumah Sakit mendapatkan klaim berkali-kali,” katanya.
Ketiga, ketidaksiapan kebijakan dalam mengelola dana kapitasi. Keempat, potensi konflik kepentingan dalam operasional BPJS dan faskes (puskesmas). Verifikator yang ditempatkan di RS berpotensi kuat “bekerja sama” untuk meloloskan klaim yang tidak benar, atau mengubah data peserta agar terdaftar di faskes tersebut dengan tujuan meningkatkan dana kapitasinya.
Kelima, pengawasan/audit layanan medis yang belum jelas, baik sisi regulasi, kelembagaan dan operasionalnya. Menurut Zulkarnain, hal ini disebabkan, belum adanya payung hukum untuk melaksanakan audit medis yang harus dilaksanakan secara rutin dalam layanan ini. “Lembaga yang bertanggung jawab dan berkompetensi dalam melakukan pengawasan/audit medis, juga belum ada.”
Tak hanya itu, program JKN juga berisiko terjadinya ketidakadilan dalam distribusi manfaat. Peserta pada kelas I dan kelas II yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan peserta pada kelas III, menggunakan dana jaminan yang jauh lebih besar dari iuran yang dibayarkan. Hal ini berarti peserta dari kelas I dan kelas II yang relatif mampu menggunakan dana peserta dari kelas III yang relatif kurang mampu.
“Misalnya, di salah satu RS di Aceh, premi yang diperoleh pada kelas I selama Januari-April hanya sebesar 24,5 juta rupiah, namun jumlah klaim pada kelas ini lebih dari 13 miliar rupiah sepanjang Januari-Maret,” paparnya.
Menanggapi hal ini, Fahmi Idris mengaku memang masih banyak kekurangan dalam pelaksanaannya. Meski begitu, ia berterima kasih atas sejumlah temuan itu yang merupakan peringatan dini dalam upaya mencegah korupsi. Kalau ada temuan yang mengarah pada tindak pidana korupsi, “Akan kami adukan dan kami minta bantuan ke KPK,” kata Idris.(kpk/bhc/sya) |