PALU, Berita HUKUM - Pertarungan ruang hidup rakyat dan investor pertambangan saat ini semakin berkecamuk. Atas legitimasi pemerintah daerah, pasca diberlakukannya otonomi daerah, proses pengambilan tanah rakyat oleh investasi pertambangan terhitung mudah. Ini yang menyebabkan konflik agraria semakin banyak dan rakyat dengan mudah kehilangan tanahnya.
Di Kabupaten Tojo Una-una Sulawesi Tengah, JATAM SULTENG menemukan fakta, bahwa luas wilayah di daerah itu sekitar 55% diperuntukkan menjadi wilayah pertambangan (WP). Wilayah pertambangan itu, masuk di 5 kecamatan, yakni: Kecamatan Tojo Barat, Kecamatan Tojo, Kecamatan Ulubongka, Kecamatan Ampana Kota dan Kecamatan Ampana Tete.
Luas wilayah Kabupaten Tojo Una-una secara keseluruhan mencapai 5. 726 Km2 atau mencapai 572. 600 hektar. Dari total luasan itu, seluas 306. 556 hektar dikuasai oleh 28 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Artinya, kurang lebih 266.044 hektar sisa lahan yang tidak diperuntukkan untuk pertambangan atau sekitar 55% lahan untuk pertambangan.
Sementara, luas hutan di Tojo Una-una mencapai 25.832 hektar, yang terbagi atas: Hutan Lindung seluas 10.659 hektar, Hutan Produksi Tetap seluas 11.759 hektar, Hutan Produksi Terbatas seluas 193 hektar, dan hutan yang dapat dikonversi seluas 3.221 hektar. Kemudian, data statistik menunjukkan, bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Tojo Una-una mencapai 137. 880 jiwa.
Jika di bagi kebutuhan lahan (tanah) untuk masa depan, maka rasio jumlah penduduk, dengan lahan yang tersisa berdasarkan undang-undang pokok agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960, maka secara keseluruhan, kebutuhan lahan mencapai 275.760 hektar. Artinya, jauh lebih luas dari wilayah administrasi yang tersisa. Maka, Jatam Sulteng mengklaim, bahwa Touna sedang mengalami krisis agraria, akibat dari monopoli tanah oleh wilayah pertambangan.
Dengan berdalilkan peningkatan pendapatan daerah, sumber-sumber kehidupan rakyat di Touna digadai kepada investor yang notabenenya pendapatan daerah itu hanya mitos. Sebab, implikasi dari eksplotasi pertambangan adalah merusak lingkungan, hutan, merebut tanah petani, tanah adat, dan lain sebagainya. Monopoli tanah oleh tambang itu pula menciptakan ketidakadilan, dan menciptakan kemiskinan massal bagi masa depan petani di Touna.
Sebagai contoh, adalah PT. Arthaindo Jaya Abadi (AJA) yang hingga saat ini tanah petani dikuasainya dan belum ada ganti-rugi lahan. Ini bertandakan, bahwa petani sudah kehilangan tanah yang mempengaruhi masa depan mereka.
Olehnya: pertama, Pemda Touna mesti memikirkan kembali atas penguasaan perusahaan tambang di daerahnya. Sebab, ini akan menghasilkan bibit-bibit konflik yang berkepanjangan nantinya; kedua, Pemda Touna harus mencabut IUP-IUP yang menguasai lahan sebanyak 55% dan membagikan tanah kepada rakyat. Demikian siaran pers yang diterima di Jakarta dari Rifai Hadi, Manager Riset dan Kampanye Jatam.(jtm/hadi/bhc/sya)
|