Oleh: Hery Tanjong
Direktur Eksekutif LSM LABANG BANGSA
Banda Aceh
PELAKSANAAN Syariat Islam di Aceh di semua lini menurut saya telah berjalan, dengan adanya pelaksanaan kegiatan dan praktikal bernuansa Islami ini menunjukkan itikad baik pemerintah dalam merealisasi kehidupan masyarakat yang bermartabat dan berakhlaqul karimah, banyak instansi dan lembaga di Aceh menjadi under buffer pemerintah mendampinginya.
Namun tidak bisa dinafi, bukan sedikit juga pembenahan pembenahan yang masih sangat di butuhkan dan urgens, pengaruh era digital dewasa ini seakan telah memusnahkan Aceh dari pondasi mekkah yang pernah menjadi serambinya, masyarakat yang bertaraf pendidikan di atas rata rata tidak terlalu mempersoalkan syariat kepada lingkungan dan kelurganya, masyarakat menengah hanya menunggu tanpa action, di sayangkan yang lebih miris adalah saudara saudara di pedalaman yang gampang terjangkit dan terjebak dengan pendangkalan aqidah, nah kemudian ini tanggung jawab siapa?
Saya berpendapat ini semata tidak lah dipundak pemerintah, para pengambil kebijakan dan pemutus hukum pun akan kualahan jika tidak seiring dengan target yang ingin dicapai bersama, seperti contoh keberadaan Polisi Syariat, banyak masyarakat yang in-tolerir, tapi bukankah aturan ini bukan hukum pemerintah? Toh ada atau tanpa polisi syariat sekalipun masyarakat telah menerima hukum ini 1000 tahun yang lalu, wajib menutup aurat, tidak maisir, tidak berkhalwat tapi kemudian apa yang terjadi jika aparat dan abdi Negara ini turun ke jalan dan melakukan penertiban, razia dan sebagainya?
Secara tidak langsung banyak masyarakat yang menganggap ini asasi dan bertentangan. Secara lantang masih ada masyakarat Aceh yang mengganggap WH merazia pakaian ketat adalah salah dan bertentangan dengan asasi individu, bukankah itu hukum Tuhan? Subhanllah !!
Sehingga saya berharap persoalan syariat islam ini tidak melihat sebelah mata dan hanya mampu berafiliasi terhadap kinerja pemerintah, terlebih kepada mari menginstropeksi dan bercermin terhadap tanggung jawab dan keberadaan kita di tengah tengah ummat dan keluarga, bukankah kita juga sebagai khalifah?
Upaya pemurtadan yang terjadi di aceh pasca Tsunami juga tidak mutlak menjadi beban pemerintah, jawaban kongkrit dan realitanya adalah masyarakat aceh sendiri sudah alergi dengan agamanya, dengan hukum Tuhannya, karena kurangnya pembinaan dan sosialisasi dari pemerintah sehingga terjerat dengan upaya upaya vatikan tersebut kemudian mampu menggantikan aqidah dengan materi.
Pemerintah melalui dinas terkait, bahkan sampai ketingkat gampong telah membentuk tim koordinasi lintas unsur untuk memantau mengawal dan membina masyarakat berkaitan dengan cita cita bersama mewujudkan Islam secara kaffah di bumi Iskandar muda ini. Hanya saja berpulang kepada kita sebagai lingkungan ditengah tengah lingkungan, kita sebagai ummat di tengah tengah ummat dan kepala ditengah tengah keluarga bagai mana menyikapi ini.
Remaja aceh banyak yang tidak faham alquran, banyak yang telanjang, banyak yang hamil di luar nikah dan banyak pula kasus kasus lain yang telah dan sedang terjadi bahkan sejengkal di hadapan mata kita? Apa langkah kongkrit anda untuk membantu menegakkan syariat islam secara sempurna dan menyeluruh di bumi Aceh?
1435 H pergantian tahun baru Islam saja banyak remaja bahkan orang tua di aceh yang latah, Oe thoen Baroe Hijriah lagoe ka. Tidak peduli, tidak ingat atau tidak pernah mau tahu? Kita lebih respek dengan perayakan tahun baru masehi, valentine day, hari Ibu dan lain lain,bayangkan di tahun 143… selanjutnya, setelah kita tidak ada lagi, setelah anak anak hari ini tumbuh menjadi muda-mudi bahkan pengganti kita? Akankah mereka masih tahu tata cara berwudhu? Dan member salam kepada yang lebih tua?
Bukankah kita telah melupakan identitas dan budaya serta agama kita sendiri, hanya saja kita terlalu munafik mengakuinya.(hrt/bhc/sya)
|